PEKANBARU - Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan boleh membakar lahan sebanyak dua hektare menimbulkan kebimbangan. Bahkan, keberadaan UU tersebut sering kali disalahartikan oleh sejumlah pihak sebagai alasan untuk membakar sedikit demi sedikit lahannya.

Menanggapi hal ini, Anggota Tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNSDA) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hariadi Kartodihardjo mengungkapkan, bahwa tidak ada yang salah dengan pembuatan UU Nomor 32 Tahun 2009, hanya saja salah dalam penafsiran dan penerapannya.

"Sebenarnya UU Nomor 32 Tahun 2009 ini sangat jelas. Dijelaskan pula ketentuannya, syaratnya untuk kearifan lokal adat bukan untuk massal. Persoalannya di lapangan memang disalahgunakan," ungkap Hariadi Kartodihardjo yang juga Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB tersebut kepada GoRiau.com, Rabu (24/8/2016) di Pekanbaru.

Menurutnya, yang perlu dilakukan atas keberadaan UU tersebut ialah mengedukasi masyarakat. Sebelumnya, dijelaskan bahwa dalam Pasal 69 ayat 2 menyebutkan, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf H memperhatikan dengan sungguh-sunguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Pasal 69 ayat 2 menjelaskan:‎‎ kearifan Lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala‎.

"Tanpa membawa pasal-pasal penegakan hukum, kita harus bisa mengendalikan itu. Tapi kan banyak yang minta UU itu diganti, jadi pemerintah sedang evaluasi," tutupnya.

Hal sama juga sempat diutarakan oleh Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Riau, Yulwiriati Moesa. Dimana, UU Nomor 32 Tahun 2009 tersebut tengah dievaluasi oleh pemerintah pusat. "Ketentuan boleh membakar dua hektar itu untuk kearifan lokal, bukan untuk kepentingan yang lain. Sekarang pemerintah sedang mengevaluasi," singkatnya. ***