PANGKALANKERINCI - Aneh jika ada ahli yang menyatakan penyebab kebakaran lahan milik PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) di Desa Gondai, akibat dibakar. Sementara hanya melihat bekas kebakaran, tanpa mengkonfirmasi keterangan dari saksi-saksi yang melihat langsung kejadian.

Seperti ditegaskan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Yanto Santoso, saat menjadi saksi ahli dalam sidang dugaan pembakaran lahan dengan tersangka Frans Katihokang di Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan, Riau, Senin (11/4/2015) kemarin.

Dikatakan Yanto, untuk menentukan penyebab terjadinya kebakaran seorang ahli harus melakukan pemeriksaan fakta-fakta seperti keterangan saksi sebelum mengeluarkan pendapatnya.

"Tidak ada ahli yang bisa mengetahui sebuah kebakaran terjadi akibat dibakar hanya dengan melihat lokasi bekas kebakaran saja. Itu ahli nujum namanya," tegasnya.

Pernyataan Yanto tersebut sekaligus mematahkan opini dari Bambang Hero, ahli lain dari IPB yang dalam sidang sebelumnya menyebut bahwa kebakaran di lahan LIH terjadi karena dibakar.

Dalam keterangannya, Yanto mengatakan bahwa untuk menghitung kerugian akibat kebakaran harus menggunakan patokan dan tolak ukur yang jelas. Misalnya harus dipastikan bahwa asap hasil kebakaran murni dari hasil lahan yang terbakar dan pengukuran dilakukan pada saat terjadi kebakaran.

"Perhitungan kerugian menjadi tidak valid dan tidak relevan untuk digunakan jika alat ukur tidak ada saat kejadian. Apalagi jika hal itu dilakukan setelah kebakaran selesai, ngawur sekali," ujar Yanto.

Saksi ahli lainnya, Gunawan Djajakirana, ahli ilmu tanah dari Institut Pertanian Bogor (IPB) memperkuat pernyataan Prof Yanto. Terkait asap dari kebakaran lahan, perusahaan tidak dapat langsung disalahkan karena tidak dapat dideteksi sumber asal berasal dari mana.

"Asap tidak ada tanda pengenalnya, jadi tidak bisa dituntut. Apalagi di udara tidak ada identitas yang dapat menyebut ini asap PT X dan itu asap PT Y," tutur Gunawan.

Dalam kesaksiannya Gunawan juga mengatakan, tidak masuk akal suatu perusahaan membakar atau membiarkan terjadi kebakaran terhadap tanaman sawit yang sudah dirawat dan dipelihara dengan baik. Apalagi tanaman tersebut berasal dari bibit unggul yang harganya mahal.

Terkait dugaan motif pembakaran untuk menaikan PH di lahan gambut, Gunawan yang tergabung dalam Asosiasi Ahli Gambut Indonesia menjelaskan, bahwa tudingan tersebut tidak berdasar.

Untuk menaikkan PH di lahan gambut penggunaan kapur pertanian (kaptan) lebih efisien, karena biayanya lebih murah. Harga kaptan sekitar Rp 500 per Kg. Sementara dengan membakar sesungguhnya perusahaan harus mengeluarkan uang lebih banyak.

Soalnya, lanjut Gunawan, akibat kebakaran lahan, kadar nitrogen yang dibutuhkan tanah akan berkurang. Sehingga butuh biaya untuk menaikkan kadar nitrogen tanah butuh biaya besar. Harga nitrogen sekitar Rp 8.000 per Kg.

"Tidak logis jika ada perusahaan lebih memilih membayar Rp 8.000 untuk nitrogen dari pada Rp 500 untuk kaptan. Padahal kenaikan PH di lahan gambut yang terbakar hanya bersifat sementara. Perusahaan juga masih butuh banyak biaya lain untuk pupuk dan perawatan," tandasnya.(*/far)