JAKARTA – Meski perdebatan tentang rencana redenominasi rupiah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1 masih berlanjut, namun masyarakat Indonesia telah secara tidak formal menerapkan konsep ini dalam aktivitas sehari-hari mereka.

Dalam berbagai lokasi konsumen, seperti pusat perbelanjaan, restoran, kafe, dan bioskop, kita sering menemui penulisan harga dengan penanda "K".

Misalnya, harga nasi soto ayam yang sebenarnya Rp30.000 per porsi, hanya ditulis sebagai 30K. Penandaan ini mengindikasikan bahwa masyarakat Indonesia telah memahami dan menerapkan konsep redenominasi rupiah secara informal.

Fenomena serupa juga ditemukan di pasar tradisional. Pedagang buah yang menawarkan jeruk dengan harga Rp30.000 per kilogram, misalnya, dan pembeli yang menawar dengan hanya menyebut angka 20, yang berarti mereka menawar dengan harga Rp20.000 per kilogram.

Menanggapi fenomena ini, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan bahwa persiapan untuk redenominasi rupiah sudah dilakukan sejak lama.

"Redenominasi sudah kami siapkan dari dulu. Masalah desain dan tahapan-tahapannya, itu sudah kami siapkan dari dulu secara operasional dan bagaimana tahapan-tahapannya," tutur Perry.

Namun, implementasi redenominasi rupiah ini masih menunggu tiga pertimbangan utama: stabilitas makroekonomi Indonesia, kondisi sosial yang aman, dan stabilitas politik. "Memang ekonomi Indonesia saat ini tengah bagus. Hanya saja redenominasi ini masih harus menunggu momen yang lebih tepat," jelas Perry.

Fenomena ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sudah siap menerima redenominasi rupiah. Walaupun belum ada kebijakan resmi, namun praktik sehari-hari menunjukkan bahwa masyarakat sudah terbiasa dan mampu beradaptasi dengan konsep redenominasi rupiah Rp 1.000 menjadi Rp 1. ***