JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah utang pemerintah Indonesia sebesar Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.

Besarnya jumlah utang Indonesia ini membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir terhadap kemampuan pemerintah membayar utang tersebut. BPK menilai utang pemerintah dan biaya bunganya telah melampaui pertumbuhan PDB. Ke depannya kemampuan pemerintah untuk membayar utang disebut makin menurun.

Kekhawatiran BPK ini sangat beralasan, mengingat sejumlah negara akhirnya bangkrut karena terlilit utang.

Berikut 5 negara yang pernah terlilit utang hingga akhirnya bangkrut. Mudah-mudahan kondisi serupa tidak menimpa Indonesia.

1. Yunani

Pada 30 Juni 2015 Yunani dinyatakan bangkrut. Penyebabnya karena gagal membayar utang yang totalnya mencapai 360 miliar euro (Rp 5.000 triliun). Rasio utang pemerintah Yunani terhadap PDB mencapai 155,3% pada Mei 2015

Utang Yunani yang menggunung mulai dikumpulkan sejak bergabung dengan Uni Eropa pada awal 2000-an. Padahal, Yunani bukanlah negara besar, karena jumlah penduduknya hanya sekitar 11 juta orang, ini bahkan lebih rendah dari penduduk di Jawa Barat yang mencapai sekitar 46 juta orang. Sekitar 16% perekonomian Yunani bergantung pada sektor pariwisata.

Saking banyaknya utang Yunani, para investor menghentikan pembelian surat utang yang diterbitkan pemerintah negeri para dewa ini.

2. Argentina

Negeri Tango ini setidaknya sudah 2 kali mengalami gagal bayar utang yakni pada 2001 dan 2014. Di 2014 para kreditur menolak penawaran negosiasi pembayaran utang pemerintah Argentina.

Pihak lembaga pemeringkat utang, Standard & Poor's (S&P) saat itu langsung memposisikan Argentina dalam status "Selective default'.

Jumlah utang yang masih harus dibayar Argentina kepada para kreditur sebesar lebih dari US$ 1,3 miliar.

Argentina seharusnya melakukan cicilan pembayaran US$ 539 juta terhadap obligasi yang direstrukturisasi pada 30 Juni 2014

Argentina juga menyatakan gagal bayar utang sebesar US$ 100 miliar pada 2001 dan harus menjalani program restrukturisasi. Konsekuensinya, nilai obligasi yang diterbitkan Argentina berkurang 70% dari nilai sesungguhnya

Hampir 92% dari para pemegang surat utang negara itu bersedia nilai piutang mereka berkurang . Namun kreditur dari Capital dan Aurelius Capital Management tetap menuntut Argentina membayar utangnya 100% sebesar US$ 1,3 miliar plus bunga.

Tahun lalu di 2020, Argentina juga memiliki masalah terkait utang. Namun kali ini Argentina mencapai kesepakatan dengan kreditor utamanya untuk melakukan restrukturisasi alias keringanan untuk membayar utang negara sebesar US$ 65 miliar atau sekitar Rp942,5 triliun (dalam kurs Rp14.500).

3. Venezuela

Venezuela merupakan negeri yang kaya minyak dan pernah meraup banyak uang dari minyak saat harganya tinggi. Namun saat harga minyak turun negara ini kehilangan pemasukan hingga tak mampu membayar utang.

Itu terjadi pada 2017 lalu yang membuat Venezuela masuk dalam krisis ekonomi. Saat itu Pemerintah Venezuela berencana meminta penundaan pembayaran utang kepada krediturnya, lewat refinancing atau restrukturisasi utang-utangnya.

Penundaan pembayaran utang ini akan dilakukan, setelah perusahaan minyak milik pemerintah Venezuela, yaitu PDVSA, membayar utangnya US$ 1,2 miliar atau Rp16,2 triliun Jumat kemarin.

Jumlah utang Venezuela saat ini adalah US$ 150 miliar, atau sekitar Rp 2.025 triliun. Kondisi Venezuela saat ini memang tengah susah dan sulit untuk membayar utang.

Menurut data yang ada, dari utang Venezuela US$ 150 miliar, sebesar US$ 45 miliar adalah utang publik, lalu US$ 45 miliar utang milik PDVSA, sebesar US$ 23 miliar adalah utang dari China, dan US$ 8 miliar adalah utang dari Rusia.

4. Ekuador

Ekuador merupakan negara terkecil yang tergabung dalam organisasi negara pengekspor minyak (OPEC) dengan kapasitas produksi minyak mentah mencapai 167.400 barel/hari. Negara asal Amerika Selatan ini keluar dari OPEC dikarenakan adanya masalah fiskal yang terjadi di negara tersebut.

Permasalahan fiskal ini bermula ketika Ekuador mengalami defisit karena jatuhnya harga minyak, yang membuat negara ini mulai memiliki banyak utang.

Ekonomi Ekuador mulai anjlok ketika harga minyak jatuh di tahun 2014 silam. Dengan anjloknya harga minyak, penerimaan negara menjadi berkurang dan menyebabkan defisit fiskal yang parah.

Guna menutupi defisit fiskal tersebut, pemerintah Ekuador mulai berutang di sana-sini. Utang domestik jangka pendek, penarikan cadangan bank sentral hingga penempatan utang luar negeri dengan biaya yang sangat tinggi dilakukannya. Sejak 2014-2017 utang Ekuador naik signifikan hingga melebihi batas aman 40% dari total PDB.

Ekuador telah mencapai kesepakatan pembiayaan sebesar US$ 4,2 miliar dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Negara itu juga akan menerima pinjaman US$ 6 miliar dari lembaga multilateral termasuk Bank Dunia, Bank Pembangunan Antar-Amerika, dan bank pembangunan Andes CAF.

5. Zimbabwe

Tahun 2008 menjadi tahun terburuk bagi Zimbabwe. Negara ini mengalami krisis dan menderita hiperinflasi. Saat itu Zimbabwe juga menanggung utang mencapai US$ 4,5 miliar.

Zimbabwe menciptakan rekor inflasi tertinggi di dunia. Jika negara-negara lain sudah ribut dengan inflasi dua digit, Zimbabwe harus dihadapkan dengan kenyataan angka inflasi hingga 11,250 juta persen pada Juni 2008.

Zimbabwe melakukan langkah pemangkasan nilai uang untuk mengatasi perekonomian mereka yang semakin terpuruk itu. Tidak tanggung-tanggung, 10 miliar dolar Zimbabwe dipotong nilainya menjadi hanya 1 dolar Zimbabwe.

Utang RI Rp6.418,15 Triliun

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah utang pemerintah Indonesia sebesar Rp6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per akhir Mei 2021.

Jumlahnya turun Rp109,14 triliun dalam sebulan terakhir dari Rp6.527,29 triliun atau 41,18 persen dari PDB pada akhir April 2021. Namun bila dibandingkan dengan Mei 2020, jumlah utang pemerintah naik Rp1.159,58 triliun dari Rp5.258,57 triliun atau 32,09 persen dari PDB.

''Secara nominal, posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun lalu, namun menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Hal ini disebabkan kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di masa pandemi covid-19,'' ungkap Kemenkeu dalam laporan APBN KiTa edisi Juni 2021, seperti dikutip CNNIndonesia.com, Kamis (24/6).

Secara rinci, jumlah utang pemerintah terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp5.580,02 triliun dan pinjaman Rp838,13 triliun. SBN terdiri dari dalam negeri Rp4.353,56 triliun dan valuta asing (valas) Rp1.226,45 triliun.

Sementara pinjaman terbagi atas pinjaman dalam negeri Rp12,32 triliun dan luar negeri Rp825,81 triliun. Pinjaman luar negeri berasal dari bilateral Rp316,83 triliun, multilateral Rp465,52 triliun, dan commercial banks Rp43,46 triliun.

Kemenkeu menilai kebutuhan utang tentu akan meningkat di masa pandemi covid-19, namun pemerintah senantiasa menyiapkan strategi untuk memitigasi volatilitas pasar keuangan serta mengelola risiko agar utang tetap terjaga dalam batas aman. Salah satunya terlihat dari risiko suku bunga mengambang (variable rate) dan suku bunga tetap (fixed rate) yang selalu dikelola dengan hati-hati.

''Dalam rangka memitigasi pembiayaan dan mengurangi ketergantungan akan valuta asing, porsi valas diturunkan dari 44,6 persen pada 2015 menjadi 32 persen pada akhir Mei 2021,'' jelas Kemenkeu.

Selain itu, indikator risiko refinancing juga dijaga dengan waktu jatuh tempo utang rata-rata (average time to maturity/ATM) yang menurun dari semula 9,39 tahun pada 2015 menjadi 8,7 tahun pada Mei 2021.***