JAKARTA - Jamur ophiocordyceps sinensis atau jamur ulat yang hanya bisa tumbuh dengan baik di dataran tinggi Tibet, Himalaya, merupakan flora primadona. Sebab, harganya lebih mahal dari emas.

Dikutip dari Kompas.com, jamur ulat dipercaya sebagai afrodisiak dan dikenal sebagai yartsa gunbu oleh penduduk setempat.

Menurut teks-teks kuno Tibet, pria yang mengonsumsi yartsa gunbu akan mendapatkan “kenikmatan ribuan wanita cantik.” Ada juga yang mengatakan bahwa jamur ulat berkhasiat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dapat mengobati batuk, dan “memperkuat paru-paru”.

Sejauh ini, belum ada bukti ilmiah yang memvalidasi klaim tersebut. Namun demikian, permintaan yartsa sangat tinggi di beberapa belahan dunia sehingga yartsa dijual dengan harga lebih tinggi dari emas.

Misalnya, laporan dari NPR mengungkapkan bahwa orang-orang membeli yartsa dengan harga $2.000 atau sekitar Rp32 juta per ons di Tiongkok.

Pertumbuhan dan Pemanenan

Terjemahan dari yartsa gunbu adalah “rumput musim panas, cacing musim dingin". Ini menggambarkan bagaimana ulat musim dingin menjadi rumput di musim panas.

Selama musim panas, ulat ngengat hantu berhibernasi di bawah tanah. Ini adalah saat spora O. sinensis di udara menyerang tubuh mereka, memaksa mereka untuk naik ke permukaan tanah, dan kemudian jamur membunuh dan memakannya.

Jamur memanipulasi kimia otak ulat, memaksanya naik ke ketinggian yang mengoptimalkan kondisi pertumbuhan jamur dan distribusi spora. Begitu berada di atas tanah, ulat tersebut mati dan tampak menjadi mumi karena kerangka luarnya menjadi pucat.

Dengan datangnya musim semi, jamur mulai keluar dari kepala ulat yang mati berbentuk tangkai yang panjang. Bagi penduduk dataran tinggi Tibet, inilah musim panen.

Begitu batangnya terlihat di tanah, jamur termahal di dunia ini siap dipanen. Banyak pendapatan rumah tangga di dataran tinggi Tibet bergantung pada jamur ini, yang kadang-kadang dikenal sebagai 'Viagra dari Himalaya'.

Geoff Childs dan Namgyal Choedup, dua peneliti dari Universitas Washington di St. Louis (WUSTL), menerbitkan sebuah penelitian pada tahun 2014 yang menyoroti peran besar yartsa dalam perekonomian Tibet.Penelitian mereka menunjukkan sisi baik dan buruknya pemanenan yartsa gunbu.

Sisi Gelap Jamur Ulat

Sayangnya, tingginya nilai ekonomi yartsa juga menyebabkan konflik kekerasan di dataran tinggi Tibet. Misalnya, pada tahun 2014, bentrokan antara dua kelompok di Tibet terkait akses pemanenan yartsa gunbu mengakibatkan dua orang tewas. Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak perselisihan yang berkisar seputar jamur ulat bulu.

Selain itu, masyarakat mengeksploitasi padang rumput Himalaya secara berlebihan untuk dijadikan yartsa, sehingga mempercepat hilangnya satu-satunya habitat tempat jamur itu tumbuh.

Ophiocordyceps sinensis sudah merupakan spesies yang terancam punah. Jika keadaan seperti ini terus berlanjut, jamur ulat mungkin akan segera punah.

Sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2018 memperingatkan bahwa pemanenan berlebihan dan perubahan iklim dapat menyebabkan matinya jamur.

Namun, terlepas dari semua perkembangan negatif ini, masih ada harapan. Dalam studi mereka, Child dan Choedup juga mengungkap kisah dua desa di Himalaya, yang masyarakatnya merancang strategi untuk melakukan pemanenan jamur ulat yang berkelanjutan.***