PEKANBARU - Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) Provinsi Riau, mengungkapkan sampai hari ini fasilitas kesehatan berupa rumah sakit masih belum dirasakan secara merata oleh masyarakat Riau.

Kondisi rumah sakit di Riau ini sudah disampaikan oleh BPRS kepada Komisi V DPRD Riau dalam rapat dengar pendapat yang dipimpin oleh Ketua Komisi V, Eddy Moh Yatim, kemarin, Kamis (21/1/2020).

"Rumah sakit di Pekanbaru itu sudah surplus, sementara di 11 kabupaten/kota lainnya masih mengalami kekurangan. Bahkan, kami menemukan ada pasien cuci darah dari Kuansing yang harus menempuh perjalanan 4 jam ke Pekanbaru untuk mendapatkan pelayanan itu," ujar Kepala BPRS Riau, drg Aznan Wahyudi, kepada GoRiau.com, Jumat (22/1/2021).

Tak hanya keberadaan RS yang tidak merata, permasalahan fasilitas rumah juga masih menjadi masalah di Riau, terutama ketersediaan fasilitas tempat tidur yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2020.

Dalam PMK itu, jelas Aznan, rumah sakit diberikan batasan minimal ketersedian tempat tidur. Dimana, RS kelas A harus punya 250 bed, kelas B 200 bed, kelas C 100 bed dan D 50 bed.

"Di Riau ini, baik yang milik pemerintah maupun swasta, sampai Januari 2021 belum sesuai, masih ada RS kelas D yang 30 tempat tidur, kelas C yang harusnya 100 hanya 56," ujarnya.

Lebih jauh, BPRS juga menyoroti adanya dua rumah sakit di Riau milik pemerintah yang belum melayani masyarakat peserta BPJS. Yakni, RS Madani milik Pemko Pekanbaru dan RS Universitas Riau.

"Masalah ini sudah dari tahun lalu kita sampaikan, tapi masih belum tuntas juga," tambahnya.

Disamping itu, BPRS juga menemukan adanya pasien peserta BPJS yang mengeluhkan pengeluaran biaya dan susahnya mencari ruangan.

Terlepas dari itu, BPRS bersyukur karena ketersedian ruangan untuk pasien Covid-19 masih mencukupi, dimana dari 1000 lebih bed yang disiapkan di 48 RS, hanya 30-40 persennya yang terpakai.

"Mudah-mudahan jumlahnya tidak naik lagi, kan kita bisa lihat di Jakarta misalnya yang kekurangan bed. Cuma, RS yang melayani pasien covid-19 ini sudah hampir setahun tidak menerima bayaran dari kementerian, artinya mereka sudah numbok sejak Juli 2020," tuturnya.

Terkait stigma negatif masyarakat yang menuding ada RS yang sengaja mengcovid-covidkan pasien, BPRS memastikan hal itu tidak terbukti benar, sebab BPRS sendiri sudah pernah melakukan investigasi.

"Kami sudah melakukan investigasi ke RS yang ada, termasuk yang ada di ILC kemarin, tuduhan itu tidak terbukti," tutupnya.***