JAKARTA – Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Imigrasi Kemenkumham) mencegah mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Chandra Tirta Wijaya bepergian ke luar negeri. Pencegahan itu berdasarkan permintaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dikutip dari Liputan6.com, Subkoordinator Humas Ditjen Imigrasi Achmad Nur Saleh menyebut, mantan anggota DPR RI Fraksi PAN itu dicegah ke luar negeri selama enam bulan, sejak 25 Agusus 2022.

''Yang bersangkutan (Chandra Wijaya) aktif dalam daftar cegah, dengan masa pencegahan 25 Agustus 2022 sampai dengan 25 Februari 2023. Diusulkan oleh KPK dengan kasus korupsi,'' ujar Achmad dalam keterangannya, Selasa (4/10/2022).

Sebelumnya diberitakan, KPK mengembangkan kasus dugaan suap pengadaan mesin dan pesawat di PT Garuda Indonesia. Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara yang sebelumnya menjerat mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Presiden Komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo.

"Saat ini, KPK kembali membuka penyidikan baru sebagai pengembangan perkara terkait dugaan suap pengadaan armada pesawat Airbus pada PT GI (Garuda Indonesia) Tbk 2010-2015," ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (4/10/2022).

KPK sudah menentukan pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini, yakni anggota DPR RI periode 2014-2019 berinisial CTW. Dia pernah diperiksa pada November 2019.

"Dugaan suap tersebut senilai sekitar Rp100 miliar yang diduga diterima anggota DPR RI 2009-2014 dan pihak lainnya, termasuk pihak korporasi," kata Ali.

Bersinergi dengan Inggris dan Prancis

Ali mengatakan, pengusutan kasus ini tidak dilakukan sendiri oleh KPK. Melainkan sinergi antar penegak hukum di Inggris hingga Prancis.

"KPK apresiasi pihak otoritas asing dimaksud yang bersedia membantu penegak hukum di Indonesia. Hal ini tentu sebagaimana komitmen dunia internasional untuk terus membangun kerja sama dalam pemberantasan korupsi," tutur Ali.

Meski sudah mengantongi nama tersangka, Ali menyebut pihaknya belum akan mengumumkan mereka. Nama tersangka berikut konstruksi kasusnya akan disampaikan saat upaya paksa.

"Setelah penyidikan ini cukup, maka berikutnya kami segera akan umumkan rangkaian dugaan perbuatan pidananya, pihak-pihak yang berstatus tersangka dan pasal yang kemudian disangkakan," kata Ali.

"Yang berikutnya ditindaklanjut dengan upaya paksa penangkapan maupun penahanan," Ali menandaskan.

Jaksa Eksekutor pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeksekusi mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Jawa Barat pada Rabu, 3 Februari 2021.

Emirsyah Satar Dihukum 8 Tahun Penjara

Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar bersiap menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (4/12/2019). Emirsyah diperiksa sebagai tersangka dugaan suap pengadaan pesawat dan mesin dari Airbus dan Rolls-Royce ke PT Garuda Indonesia. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Eksekusi dilakukan setelah Mahkamah Agung (MA) menolak Kasasi yang diajukan Emirsyah atas perkara suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia dan perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Tim Jaksa Eksekusi KPK melaksanakan eksekusi pidana badan terhadap terpidana Emirsyah Satar," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (5/2/2021).

Ali mengatakan, vonis terhadap Emirsyah Satar telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan Putusan Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat 121/Pid.Sus/TPK/2019/PN.Jkt.Pst tanggal 8 Mei 2020 Jo Putusan PN Tipikor pada PT DKI Jakarta Nomor : 19 /Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI tanggal 17 Juli 2020 Jo Putusan MA Nomor : 4792 K/Pid.Sus/2020 tanggal 23 Desember 2020.

Ali mengatakan, Emirsyah Satar akan menjalani hukuman 8 tahun pidana penjara. Selain dihukum 8 tahun pidana penjara, Emirsyah Satar juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.

Emirsyah juga diwajibkan membayar uang pengganti sejumlah SGD 2.117.315,27. Ali mengatakan, jika Emirysah tak membayar dalam waktu sebulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

"Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara selama 2 tahun," kata Ali.***