JAKARTA - Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan akan membebaskan bea masuk dan pajak lainnya terhadap alat belajar milik pihak Sekolah Luar Biasa (SLB)-A Pembina Tingkat Nasional, yang sempat ditahan di Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) sejak tahun 2022.

Kasus tertahannya alat bantu belajar dari OHFA Tech, Korea Selatan (Korsel) untuk SLB tersebut viral di media sosial hingga menjadi perhatian Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

Dikutip dari detik.com, Kepala Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta Gatot S Wibowo mengatakan, pihaknya sedang komunikasikan dengan pihak Dinas Pendidikan DKI Jakarta agar barang tersebut memenuhi syarat untuk mendapatkan pembebasan bea masuk dan pajak lainnya.

"Saat ini sedang kami komunikasikan sangat baik dengan pihak Dinas Pendidikan DKI untuk memenuhi persyaratan mendapatkan pembebasan bea masuk dan pajak lainnya," kata Gatot kepada detikcom, Ahad (28/4/2024).

Salah satu guru di SLB tersebut, Rizal mengaku lega karena semakin ada titik terang untuk pihaknya mendapatkan bantuan berupa 20 pcs keyboard tersebut. Mulai Senin (29/4) besok, pihak sekolah akan bersurat ke Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk meminta dibuatkan surat permohonan bebas bea masuk dan pajak lainnya.

"Alhamdulillah sudah ada arahan untuk penyelesaian. InsyaAllah mulai hari Senin pihak sekolah bersurat berjenjang ke Dinas Pendidikan untuk meminta dibuatkan surat permohonan bebas bea. Terima kasih," cuitnya di X atau Twitter.

Permasalahan ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turun tangan. Bendahara Negara itu mendatangi Kantor Pelayanan Utama Bea Cukai Soekarno-Hatta pada Sabtu (27/4) malam untuk menggelar rapat koordinasi.

Terkait itu, Sri Mulyani menyebut sebelumnya barang diberitahukan sebagai barang kiriman oleh perusahaan jasa titipan (PJT) pada 18 Desember 2022. Barang tersebut ditagih ratusan juta karena ditetapkan sebagai Barang Tidak Dikuasai (BTD). Baru belakangan diketahui ternyata itu merupakan barang hibah.

"Belakangan (di medsos Twitter/X) baru diketahui bahwa ternyata barang kiriman tersebut merupakan barang hibah sehingga Bea Cukai akan membantu dengan mekanisme fasilitas pembebasan fiskal atas nama dinas pendidikan terkait," jelas Sri Mulyani.

Kronologi Kejadian

Rizal mengungkapkan keluhannya di media sosial bahwa alat taptilo untuk SLB yang merupakan bantuan dari perusahaan Korsel ditahan Kantor Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta. Saat pemilik akun ingin mengambil barang tersebut, yang bersangkutan malah ditagih senilai lebih seratus juta rupiah dan denda gudang per hari.

"SLB saya juga mendapat bantuan alat belajar untuk tunanetra dari perusahaan Korea. Eh pas mau diambil di Bea Cukai Soetta suruh bayar ratusan juta. Mana denda gudang per hari. Dari tahun 2022 jadi nggak bisa keambil. Ngendep di sana buat apa nggak manfaat juga," curhatnya.

Barang dikirim dari OHFA Tech asal Korsel pada 16 Desember 2022 dengan nama penerima SLB-A Pembina Tingkat Nasional, Jakarta. Barang tersebut tiba di Indonesia tanggal 18 Desember 2022, namun tertahan di Bea Cukai.

Dalam keterangan yang diunggah, Bea Cukai membutuhkan dokumen tambahan untuk pemrosesan barang dan penetapan harga barang tersebut. Dokumen mencakup link pemesanan yang tertera harga, spesifikasi dan deskripsi per item barang.

Lalu, invoice atau bukti pembayaran yang telah divalidasi bank, katalog harga barang, gambar dan spesifikasi masing-masing item, serta nilai freight. Selain itu diperlukan juga dokumen lainnya yang mendukung penetapan.

Pihak sekolah sudah mengirimkan dokumen yang dibutuhkan sesuai persyaratan. Nyatanya barang tersebut merupakan prototipe yang masih dalam tahap pengembangan dan merupakan barang hibah sehingga tidak ada harganya.

"Setelah itu kami dapat email tentang penetapan nilai barang sebesar US$ 22.846.52 (kurs Rp 15.688) Rp361.039.239 dan diminta mengirimkan kelengkapan dokumen," jelasnya.

Dokumen yang dimaksud mencakup:

1. Konfirmasi setuju bayar PIBK (estimasi duty tanpa NPWP = Rp 116.616.000. Duty akan ditagih ke pihak shipper

2. Lampiran surat kuasa

3. Lampiran NPWP sekolah

4. Lampiran bukti bayar pembelian barang yang valid (bukti bayar bank/credit/paypall/western union).

5. konfirmasi barang baru/bukan baru.

Pihak sekolah pun tidak setuju dengan pembayaran pajak tersebut dikarenakan barang merupakan hibah alat pendidikan untuk digunakan siswa tuna netra. Untuk dokumen lainnya pun tetap dikirim pihak sekolah.

Pihak sekolah lalu mendapat email yang menyarankan barang tersebut di redress dengan mengisi sejumlah dokumen. Saran tersebut diiiyakan, namun tetap tidak disetujui.

"Setelah diproses cukup lama, kami dapat email kembali bahwa barang kiriman tersebut akan dipindahkan ke tempat penimbunan Pabean. Setelah itu barang sudah cukup sulit diproses kembali karena mengharuskan sekolah membayar pajak yang telah dihitung sebelumnya," tuturnya.

SLB-A Pembina Tingkat Nasional lalu menghubungi OHFA Tech untuk berkoordinasi, serta menghubungi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar mendapatkan bantuan. Tidak ada juga titik terang mengenai kasus ini sampai akhirnya viral.***