JAKARTA - Ekspor produk kehutanan Indonesia senilai lebih dari 10 miliar dolar AS bakal terganggu jika tidak mampu menunjukan bukti bersumber dari hutan yang dikelola secara lestari. Untuk itu, pelaku industri harus bisa memenuhi tuntutan tersebut jika ingin tetap bersaing di pasar global.

Chairman Indonesian Forestry Certification Coorporation (IFCC), Dradjad H Wibowo menyatakan, bahwa meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk yang bersumber dari hutan yang dikelola lestari tidak bisa dibantahkan lagi.

Menurutnya, produk kehutanan Indonesia yang saat ini memiliki nilai ekspor yang besar, lebih dari 10 miliar dolar pun harus memenuhi tuntutan tersebut jika ingin terus bersaing di pasar global. Untuk itu, diperlukan bukti yang bisa meyakinkan konsumen dunia.

"Konsumen mendapat kemudahan memperoleh produk tersebut, dengan melihat logo sertifikat pengelolaan hutan lestari," katanya pada peluncuran skema sertifikasi pengelolaan hutan lestari dan lacak balak (CoC) IFCC di Jakarta, Kamis (11/12/2014).

IFCC telah mendapat endorsement dan menjadi bagian dari Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC), sebuah skema sertifikasi hutan terbesar di dunia. Lebih dari 264 juta hektare hutan dan 15.804 perusahaan telah disertifikasi PEFC.

Dradjad mengklaim, berbekal sertifikat yang dikeluarkan pihaknya, produk hutan Indonesia akan mendapat akses pasar yang lebih baik. Dia juga berjanji, IFCC dan PEFC akan membantu mempromosikan produk hutan Indonesia untuk mendapat pasar yang lebih luas.

"Banyak perusahaan dan konsumen dunia yang mengakui sertifikat dan logo PEFC sebagai bukti mereka hanya membeli produk kayu, pulp, kertas, dan turunannya yang berasal dari hutan yang dikelola lestari," beber Dradjad.

IFCC menargetkan, untuk mensertifikasi setidaknya 10 perusahaan kehutanan nasional pada tahun depan. Skema sertifikasi yang dibangun pihaknya dilakukan secara terbuka dan melibatkan pemangku kepentingan, termasuk LSM.

Dradjad juga memastikan, sertifikasi IFCC yang bersifat sukarela, akan melengkapi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang diwajibkan oleh pemerintah.

CEO PEFC International Ben Gunneberg mengungkapkan, saat ini sekitar 10% luas hutan dunia, dan 28% kayu bulat yang diproduksi telah mendapat sertifikasi hutan lestari. Dimana 60%-nya menggunakan sertifikasi PEFC.

Menurutnya, skema PEFC disusun dengan pendekatan bottom up. Hal itu menjadikannya bisa mengakomodikasi kebijakan dan kearifan pengelolaan hutan setempat.

Ditempat yang sama Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Kusnan Rahmin menyambut baik atas peluncuran sertifikasi IFCC. Dia berharap sertifikasi tersebut dapat memperkuat posisi tawar dan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk Indonesia di pasar global.

"Kami optimis produk Indonesia akan semakin diakui sebagai produk ramah lingkungan dan kompetitif," katanya.

Ke depan, Kusnan berharap agar sertifikasi IFCC dapat berjalan sesuai dengan fungsinya, yaitu membangun kerjasama yang saling menguntungkan antara para pemangku kepentingan dalam rangka menyeimbangkan fungsi kelestarian lingkungan, kesejahteraan bagi masyarakat, dan manfaat ekonomi bagi perusahaan dan pendapatan negara.

"Selama ini, potensi pertumbuhan industri kehutanan yang lestari di Indonesia belum optimal. Sertifikasi IFCC ini diharapkan dapat memperluas pasar produk Indonesia di negara tujuan ekspor," tutupnya.***