TELUKKUANTAN - Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau memiliki potensi wisata yang cukup bagus. Jika dikembangkan secara maksimal akan mampu mendongkrak Pendapatan Asli Daerah. Nyatanya, keberadaan objek wisata hanya membebani daerah.

Demikian disampaikan oleh Ketua Komisi A DPRD Kuansing, Musliadi, SAg kepada GoRiau.com, Selasa (3/5/2016) pagi di Telukkuantan.

"Mati suri, objek wisata di Kuansing hanya sarang hantu. Satu-satunya yang masih eksis hanya pacu jalur, itu pun tidak berdampak pada PAD," ujar Musliadi.

Bila dibandingkan dengan Sumatera Barat, lanjut dia, keberadaan objek wisata sangat besar kontribusi terhadap pembangunan daerah. Sebab, lebih dari separoh PAD-nya berasal dari sektor pariwisata.

"Mereka serius mengembangkan sektor pariwisata, bahkan pengembangannya mendapat kucuran dari pusat senilai Rp40 juta. Lantas, kenapa Kuansing tidak bisa? Kepala dinasnya yang harus menjemput bola," ujar Musliadi yang telah melakukan kunjungan ke Dinas Pariwisata Bukittinggi.

Dikatakan Musliadi, Kuansing selalu menganggarkan Rp4 miliar untuk Dinas Pariwisata. Ia menyadari angka tersebut masih terlalu kecil untuk memasarkan pariwisata Kuansing. Namun, ia berpendapat kepala dinas harus punya inisiatif dan kreatif dalam mengembangkan dunia pariwisata.

"Untuk pacu jalur, setiap tahun kita anggarkan Rp1,5 miliar. Hasilnya apa, nol besar. Tak ada pemasukan untuk daerah. Kalau pemerintah kreatif, bisa saja pacu jalur ini dibiayai oleh pusat," terang Musliadi.

Ia juga menyinggung, manajerial dari berbagai objek wisata di Kuansing. Menurutnya, keberadaan objek wisata hanya mendatangkan keuntungan untuk perorangan.

"Banyaknya parkir ilegal, motor Rp5 ribu, mobil Rp10 ribu. Semuanya tak ada untuk daerah," tegas Musliadi. Hal itu harus diperbaiki, sehingga ada kontribusi nyata untuk PAD Kuansing. "Jika perlu, setiap yang menonton pacu jalur bayar Rp2 ribu per kepala."

"Sehingga, keberadaan pacu jalur tidak lagi momen menghambur-hamburkan uang daerah, tapi ada pemasukan," ucap Musliadi.

Sementara itu, objek wisata seperti air terjun, juga tidak terkelola dengan baik. Bahkan, menurut Musliadi, aset-aset tersebut dibiarkan begitu saja tanpa ada sebuah sistem manajemen yang jelas.

"Keberadaan obejk wisata air terjun itu terasingkan, bahkan sudah tidak terdengar lagi namanya. Seperti Batangkoban dan Guruh Gemurai, tak ada pengembangan. Semua sudah menjadi rumah hantu," tutur Musliadi.

Agar keberadaan aset wisata alam dan budaya ini mendatangkan PAD dan menghidupkan perekonomian masyarakat, kata Musliadi, pemerintah harus membuat terobosan-terobosan.

"Jemput bola itu, jangan hanya duduk 'ngabisin' anggaran yang ada saja. Supaya potensi wisata meningkatkan perekonomian masyarakat," pungkas Musliadi.***