PEKANBARU – Kaum perempuan di Tanah Air termasuk salah satu elemen masyarakat yang merasakan dampak seiring semakin lemahnya demokrasi di Tanah Air.

Hal itu dilontarkan Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ika Ningtyas, saat tampil sebagai narasumber dalam diskusi Diskusi Ramadan memperingati International Women's Day (Hari Perempuan se-Dunia) yang jatuh pada tanggal 8 Maret. diskusi kali ini mengambil tema Perjuangan Membangun Gerakan Perempuan dalam mewujudkan Keadilan Gender. Kegiatan tersebut ditaja Walhi Riau, Kamis (21/3/2024) malam. Sedangkan moderator adalah Fandi Rahman.

Tampil secara daring, Ika mengatakan, gerakan perempuan tak lepas dari isu demokrasi. Sebab, kualitas demokrasi Tidak hanya dipengaruhi lembaga, tapi keberadaan kelompok sosial juga ikut andil, termasuk di antaranya dari kalangan perempuan.

Namun selama ini, kelompok perempuan cenderung terabaikan. Menurut Ika, Seharusnya kelompok ini ikut dilibatkan dalam mengambil sebuah keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik. Walhasil, demokrasi berkesan timpang

Kondisi itu semakin terasa saat 10 tahun kepemimpinan Jokowi. Pada masa-masa itu, pihaknya menilai demokrasi di Tanah Air semakin lemah.

Dalam materinya, Ika mencatat ada beberapa kebijakan yang berdampak terhadap kepentingan perempuan . Di antaranya terkait dengan revisi UU KPK, Omnibus Law yang melanggengkan politik upah murah. Karena banyak buruh di Tanah Air dari kelompok perempuan. Belum lagi sejumlah kebijakan lainnya.

Ditambahkan, selama satu dekade kepemimpinan Jokowi (2015-2023), KPA mencatat ada 2.923 letusan konflik agraria yang membuat 181 perempuan jadi korban. Dari jumlah itu sebanyak 2 orang tewas, 1 tertembak, 109 orang teraniaya dan 69 orang mengalami diskriminasi.

Tak hanya itu, Komnas Perempuan mencatat ada 401.975 kasus kekerasan di sepanjang tahun 2923. Pada tanah publik jumlah kasus meningkat 44 persen menjadi 4.182 kasus dan pada ranah negara meningkat 176 persen menjadi 188 kasus.

Berdasarkan hal itu, Ika menilai perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaeaan, masih berat dan panjang. "Butuh perjuangan yang lebih intens secara bersama-sama,’’ tambahnya

Sementara itu, narasumber lainnya, Reva Dina Asri, alumni Bahana Mahasiswa Universitas Riau mengungkapkan, betapa mahasiswi pada masanya juga mengalami diskriminasi dalam melaksanakan aktivitas di kampus, khususnya pada malam hari.

Menurutnya, pada tahun 2018 mahasiswi tak boleh ikut kegiatan kampus pada malam hari. Hal itu dialaminya sendiri saat ikut hadir dalam membahas konsolidasi mahasiswa terkait kasus pengusiran Neno Warisman di Pekanbaru.

"Saya belum mengetahui pasti bagaimana kondisinya saat ibu, apakah sudah ada perubahan atau masih seperti dulu," ujarnya.

Ketika itu, ia menyadari betapa pihak kampus masih membatasi aktivitas mahasiswi di kampus. "Ini yang saya rasakan, seharusnya tidak perlu terjadi," ujarnya.

Sedangkan Sri Depi Surya Azizah, selalu staf Kampanye Walhi Riau, mengungkapkan pengalamannya saat ikut menangani kaum perempuan di Desa Mendol, Kabupaten Pelalawan.

Untuk diketahui, kasus Desa Mendol sempat mendapat perhatian media, setelah terlibat konflik dengan PT TUM. Konflik itu akhirnya berkesudahan dengan dicabutnya HGU perusahaan perkebunan sawit itu, pada tahun 2023 lalu.

"Saat ini proses hukum masih berlanjut, karena pihak perusahaan masih mengajukan kasasi, " terangnya.

Dalam kesempatan itu, Depi menuturkan, sepanjang konflik masih berlangsung, kaum perempuan di Desa Mendol selalu diliputi rasa cemas dan khawatir.

"Mereka khawatir hijab tanahnya diambil alih pihak perusahaan. Sementara ketika itu, advokasi terhadap perempuan di desa itu masih begitu minim.

Selama ikut mendampingi mereka, Walhi Riau selain memberikan advokasi, juga memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang hak+-hak kaum perempuan dalam menghadapi konflik tersebut.

Akhirnya Lahir Kartini Gambut Nusantara sebagai kelompok perempuan yang menguatkan perjuangan masyarakat dalam menolak pihak perusahaan. ***