JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai penggunaan istilah makar bertentangan dengan substansi hukum.

Dikutip dari republika.co.id. Ketua Umum YLBHI, Asfinawati, mengatakan terdapat sebelas tanda bahwa negara hukum Indonesia tengah terancam oleh kebijakan pemerintah. Salah satu tandanya ialah pengenaan pasal makar terhadap lawan pemerintah alias oposisi.

''Penggunaan pasal makar oleh kepolisian secara sembarangan jadi salah satu poin pemerintah (berperilaku) membahayakan demokrasi,'' katanya dalam konferensi pers di kantor YLBHI pada Selasa, (14/5).

Ia menjelaskan pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diterjemahkan sebagai makar dalam bahasa Belanda tertulis aanslag. Ia mengingatkan kata itu bermakna serangan yang berarti ditujukan kepada kepala negara.

''Artinya apabila tidak ada serangan atau percobaan serangan maka belum dapat dikatakan makar,'' ujarnya.

YLBHI menyayangkan penggunaan pasal makar yang dianggap tidak tepat. Ia menangkap pertanda bahwa seolah tiap lawan pemerintah mesti diganjar dengan pasal makar. Padahal menurutnya, pihak yang dianggap melawan pemerintah hanya mengutarakan kritik terhadap pemerintah.

''Tercatat kepolisian mengenakan pasal ini untuk aksi demonstrasi terkait Papua, eks Gerakan Fajar Nusantara dan lawan politik pemerintah,'' ucapnya.

YLBHI menilai penggunaan pasal makar sebenarnya bertolak belakang dengan demokrasi dan substansi hukum. Asfinawati memandang semua warga negara mestinya ditindak berdasarkan pelanggaran hukum yang dilakukan.

''Kalau ada pelanggaran hukum ya pakai pelanggaran hukum yang ada. Kalau tidak ada ya dibebaskan tapi jangan sampai menggunakan pasal makar sembarangan,'' tuturnya.

Diketahui, saat ini pengacara kondang sekaligus pendukung Prabowo, Eggi Sudjana tengah berhadapan dengan hukum. Eggi disangkakan dengan pasal makar. ***