JAKARTA - Bareskrim Mabes Polri berhasil membongkar tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus beasiswa kuliah sambil bekerja di Taiwan.

Dikutip dari kompas.com, sebanyak 40 warga negara Indonesia ( WNI) telah menjadi korban modus baru TPPO ini.

''Ada modus operandi baru, yaitu menjanjikan beasiswa kuliah di luar negeri sambil bekerja di Taiwan. Sudah ada 40 orang WNI yang jadi korban,'' ungkap Wakil Direktur Tidak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Agus Nugroho dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Rabu (9/10/2019).

Agus mengatakan, para korban tersebut rata-rata berasal dari Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Mereka dijanjikan kuliah di Chienkuo Technology University dan mendapat gaji dari pekerjaan  sebesar 27.000 Dollar Taiwan.

Namun pada kenyataannya, para korban dipekerjakan dari Senin hingga Sabtu di pabrik pembuatan rak besi.

Sementara pada Ahad, mereka menjalani kegiatan belajar Bahasa Taiwan yang dibuat seolah-olah seperti kuliah dengan melibatkan orang lokal yang juga sebagai jaringan pelaku.

''Setelah di Taiwan, mereka kerja dari Senin-Sabtu dan untuk hari Minggu, dikamuflase seolah-olah seperti kuliah. Tapi isinya belajar Bahasa Taiwan untuk memudahkan pekerjaan itu sendiri,'' terang dia.

Para korban juga hanya menerima gaji sebesar 5.000 NT atau sekitar Rp2 juta. Bahkan di antaranya ada yang sama sekali tidak menerima gaji.

Dalam kasus ini, Agus juga menyebutkan, polisi telah menetapkan dua tersangka berinisial LK dan MJ.

Dalam menjerat korban, tersangka menawarkan calon korban kuliah dengan diberi beasiswa atau sembari kerja dengan modal biaya administrasi Rp35 juta.

Dijelaskan Agus, para orang tua korban yang tidak mampu membayar sejumlah itu, akan ditalangi lebih dulu oleh tersangka. Syaratnya, setelah korban kuliah dan bekerja di Taiwan, penghasilannya akan digunakan untuk melunasi biaya administrasi tersebut.

Selain itu, para korban juga diminta melengkapi administrasi selayaknya seseorang akan mendaftar kuliah.

Antara lain dengan memberikan dokumen-dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga (KK), SKCK, surat persetejuan orang tua, hingga ijazah sekolah.

Sebelum diberangkatkan, kata dia, para korban dan calon korban direkrut dan ditampung terlebih dulu selama beberapa waktu di Jakarta.

''Selama di penampungan, ada semacam kamuflase dengan menghadirkan perwakilan dari Taiwan yang mewawancarai korban untuk meyakinkan korban dan keluarganya,'' terang dia.

Adapun para korban diberangkatkan ke Taiwan pada 23 Oktober 2017 lalu.

Kasus ini kemudian terungkap setelah dua orang korban, yakni AM dan AMN berada di Taiwan selama 18 bulan tetapi tetapi tidak mendapatkan apa yang telah dijanjikan.***