SURABAYA - Umur Naya kini baru 39 tahun, namun perempuan asal Desa Gunung Tugel, Probolinggo, Jawa Timur ini, sudah memiliki cucu berumur 8 tahun. Mudah ditebak, bahwa Naya menikah pada usia sangat muda.

Dikutip dari republika.co.id, Naya mengaku menikah secara resmi saat baru tamat sekolah dasar (SD). Ketika itu umurnya baru 12 tahun.

''Kalau orang desa di tempat saya itu biasa (menikah muda). Biasanya umur 15 itu sudah dianggap ketuaan. Perawan tua gitu,'' kata Naya kepada wartawan ABC Indonesia Nurina Savitri, Rabu (26/6/2019).

''Saya disuruh orangtua menikah. Calonnya mereka yang carikan,'' sambung Naya.

''Saya tak berani bilang tidak karena kalau orangtua sudah nyuruh begitu, ya kita nurut saja,'' ujarnya.

Setelah menikah, Naya dan suami bekerja mengurus ternak sapi namun mereka masih menumpang di rumah orangtua.

Pernikahan mereka hanya bertahan satu tahun. Ia bahkan bercerai saat tengah hamil, dan diminta untuk menyembunyikan kehamilannya oleh kerabat agar proses perceraiannya dikabulkan.

''Saya disuruh bilang enggak hamil karena katanya kalau ketahuan, enggak boleh cerai,'' tutur perempuan yang kini bekerja sebagai asisten rumah tangga di Surabaya itu.

''Saya cerai karena enggak punya kesenangan hati, saya enggak tahu apa-apa loh,'' tambahnya.

Di usia 14 tahun ia melahirkan anak pertamanya. Dua tahun kemudian saat dia berusia 16, Naya kembali menikah dan bertahan hingga ajal merenggut nyawa suaminya di tahun 2015.

Sebelum pernikahan resminya di usia 12, Naya bahkan mengaku pernah dinikahkan secara siri ketika usianya masih 6 tahun, dengan anak laki-laki berusia 10 tahun. Pernikahan siri itu hanya bertahan 3 bulan.

''Aduh saya baru mau masuk SD terus dinikahkan. Ya saya enggak tahu apa-apa dan enggak kejadian apa-apa juga waktu itu,'' katanya.

''Pakai baju pun masih dipakaikan orangtua, dibedaki orangtua juga.''

Akibat dari pernikahan yang dia jalani, Naya hanya menyelesaikan pendidikan formal sampai tingkat SD.

Pengalaman Naya ini bukan hal langka. Pernikahan usia dini di desa asalnya lumrah terjadi.

Menurut penuturan Naya, para orangtua di sana mulai resah memikirkan nasib anak perempuannya, jika sampai waktu haid pertama tiba, belum ada pertanda untuk menikah.

Seperti mengulang kisah sang ibu, dua putra Naya juga menikah di bawah umur, yakni 14 tahun. Mereka juga hanya menyelesaikan pendidikan hingga tahap SD.

Kepada ABC, Naya menceritakan dirinyalah yang mencari calon istri untuk sang putra pertama.

''Anak saya yang pertama, saya yang carikan. Ada tetangga yang kenalin saya ke anak perempuan ini,'' katanya.

''Kalau yang nomor dua, dia dapat sendiri. Itu sudah ngobrol di HP sama calonnya dulu.'' 

Mengikuti jejak sang ibunda pula, kedua putranya juga mengurus ternak setelah menikah dan hingga saat ini masih menetap di rumah Naya.

Masih di desa yang sama, Sulastri (kini 30 tahun) menjalani kisah pernikahan usia dini yang tak jauh berbeda.

Dia juga diminta orangtuanya untuk berumah tangga saat masih remaja usia 15. Sulastri dinikahkan dengan teman sebaya dan tak lama kemudian dikaruniai seorang putri.

Sulastri menuturkan, di desanya, anak-anak atau remaja yang sudah dinikahkan lazim tinggal di rumah orangtua.

Setidaknya begitulah yang dia dan Naya jalani.

''Beda dengan orang kota, anak kalau menikah biasanya keluar dari rumah orang tua. Kalau di desa saya enggak begitu. Biasa itu kita habis menikah masih ngumpul di satu rumah,'' tutur Sulastri.

Tren Menurun

Kisah Naya dan Sulastri adalah cerminan dari 11,2 persen anak Indonesia yang masih menjalani pernikahan usia dini.

Adanya berbagai pemahaman agama, budaya dan juga tradisi menjadi faktor pendukung di balik fenomena ini. Faktor lainnya termasuk kondisi ekonomi dan pendidikan yang minim. 

Menurut laporan terbaru LSM Save the Children (STC), fenomena pernikahan anak di dunia menurun 25 persen atau 11 juta anak dalam dua dekade terakhir.

Laporan itu menyebutkan, peranan perempuan berkontribusi cukup besar dalam penurunan angka pernikahan anak.

Tata Sudrajat dari STC Indonesia mengatakan perempuan menjadi lebih aktif di dalam lingkungan rumah tangga maupun di masyarakat.

Perempuan dalam hal ini, sebut Tata, adalah ibu dari anak yang berpotensi melakukan pernikahan usia dini.

Menurutnya, selama ini, keputusan untuk melakukan pernikahan anak diperkuat oleh kaum ibu meskipun sebenarnya secara umum pihak ayah sebagai kepala rumah tangga yang mengambil keputusan.

''Tapi ayah hanya dipersepsikan pencari nafkah. Untuk beberapa urusan terkait rumahtangga termasuk anak, biasanya ibu.'' Tata tak memungkiri, masih banyak orangtua yang menganggap pernikahan sebagai bagian dari mengatasi kesulitan mereka atau menganggap hal itu sebagai solusi dari beban orangtua.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2018, 2 dari 100 orang melakukan perkawinan di bawah umur 16 tahun.

Sementara persentase perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum 18 tahun sebesar 11,2 persen atau menurun 3,5 persen dalam kurun waktu 10 tahun, dibanding poin sebelumnya 14,7 persen di tahun 2008.

Pada 2018, persentase perempuan 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 15 tahun sebesar 0,6 persen.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat, ada 20 provinsi yang memiliki tingkat pernikahan anak di atas angka nasional. Salah satu yang tertinggi adalah Sulawesi Barat dengan angka pernikahan anak sebesar 19,4 persen.

Angka pernikahan anak terkecil berada di DKI Jakarta, yakni sebesar 4,1 persen.

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas, Subandi Sardjoko, mengatakan penurunan jumlah pernikahan anak dipicu beberapa sebab.

''Persentase penurunan perkawinan anak di Indonesia antara lain disebabkan program wajib belajar 12 tahun. Kalau kita lihat, anak-anak yang semakin tinggi pendidikannya itu banyak perempuan dibanding laki-laki.''

Ia menjelaskan, jika anak-anak tersebut menjalani wajib belajar hingga pendidikan menengah, diharapkan mereka baru bisa menikah setelah lulus atau setelah umur 18 tahun.

''Salah satu alasan terbanyak anak perempuan putus sekolah adalah karena menikah,'' ujar Subandi.***