JAKARTA - Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (AS) atau Office of the US Trade Representative (USTR) mencabut sejumlah negara, termasuk Indonesia, dari daftar negara berkembang.

Dikutip dari kompas.com, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, meski hal itu akan berdampak terhadap fasilitas-fasilitas negara berkembang, namun pemerintah tidak khawatir.

''Dampaknya tentu fasilitas, Indonesia yang sebelumnya menjadi negara berkembang akan dikurangi, ya kita tidak khawatir itu,'' kata Airlangga di kantornya seperti dikutip Kontan.co.id, Jumat (21/2/2020).

Ekspor barang-barang Indonesia juga bakal kena tarif tinggi dibanding negara berkembang. Sebagai contoh, pajak-pajak impor yang diatur AS atas barang Indonesia bakal lebih tinggi, termasuk bea masuk.

''Tapi belum tentu, kami tidak khawatir,'' ujar Airlangga.

Dalam kebijakan baru AS yang telah berlaku sejak 10 Februari 2020 tersebut, Indonesia dikeluarkan dari daftar Developing and Least-Developed Countries, sehingga Special Differential Treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia.

Sebagai akibatnya, de minimis thresholds untuk marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi kurang dari 1 persen dan bukan kurang dari 2 persen.

Selain itu, kriteria negligible import volumes yang tersedia bagi negara berkembang tidak lagi berlaku bagi Indonesia.

Dampaknya memang kebijakan ini cenderung buat perdagangan Indonesia buntung. Padahal selama ini Indonesia surplus dari AS.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) surplus perdagangan Indonesia dengan AS pada Januari 2020 sebesar 1,01 miliar dollar AS, angka ini tumbuh bila dibanding surplus periode sama tahun lalu yakni 804 juta dollar AS.

Data tersebut juga menyebutkan AS menjadi negara terbesar kedua pangsa ekspor non-migas Indonesia, sebesar 1,62 miliar dollar AS pada Januari 2020.***