JAKARTA - Putra sulung mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dikabarkan ditawarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jabatan menteri.

Dikutip dari merdeka.com, terkait dengan kabar ini, sebelumnya Sidarto Danusubroto, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) menelepon mantan menteri koordinator politik, hukum dan HAM (menkopolhukam) Djoko Suyanto. Sidarto meminta bantuan Djoko untuk mempertemukannya dengan Presiden ke-6 sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Djoko tidak bisa banyak membantu. Meski mantan Panglima TNI itu dikenal sebagai orang dekat SBY. Dia lantas memberikan nomor ajudan SBY kepada Sidarto. Tak lama, pembicaraan ditelepon pun berakhir. ''Saya lalu berikan nomor ajudan Pak SBY kepada beliau (Sidarto). Tidak tahu apakah dihubungi atau tidak,'' ujar Djoko kepada merdeka.com, Jumat pekan lalu.

Telepon Sidarto kepada Djoko, bertepatan ramainya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum di DPR. Di mana pemerintah dan enam partai pendukungnya kala itu ngotot bahwa ambang batas pengajuan calon presiden (Presidential Threshold) sebesar 20 persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan suara secara nasional untuk Pilpres 2019 mendatang.

Keinginan Sidarto untuk menemui SBY disiyalir untuk tujuan tidak biasa. Sebab, dirinya juga menghubungi Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarief Hasan Syarief.

Langkah Sidarto dianggap sebagai langkah Jokowi merangkul SBY. Terutama untuk mendukung keputusan Presidential Threshold sebesar 20 persen. Bila mau sejalan Jokowi, Partai Demokrat ditawarkan jatah menteri.

Tawaran menteri ini untuk AHY, putra sulung SBY. Ada dua opsi bisa dipilih, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB). Penawaran itu juga disampaikan Sidarto ketika menghubungi Djoko dan Syarief.

''Benar itu infonya, masa saya bohong sih. Beliau mengontak Pak Syarief, bahkan Pak Djoko Suyanto juga dihubunginya,'' ungkap Wakil Sekjen sekaligus Juru Bicara Partai Demokrat, Rachland Nashidik saat ditemui merdeka.com di Ballrom Djakarta Theater, Kamis pekan lalu.

Rachland mengaku tidak tahu detail kapan dan apa saja dibahas Sidarto ketika menghubungi Syarief dan Djoko. Satu hal dirinya tahu hanya dalam rangka menawarkan AHY untuk menjadi menteri.

''Secara detail saya tak tahu kapan waktu dan apa saja yang diperbincangkan kepada Pak Syarief, yang jelas itu menawarkan Mas AHY untuk menjadi menteri, antara Menpora atau Menpan-RB. Dengan maksud untuk memuluskan keputusan undang-undang Pemilu Presidential Threshold 20 persen itu, kita diajak sepakat, kalau sudah sepakat Mas AHY diberi jabatan menteri katanya,'' jelasnya.

Diakuinya, belakangan Jokowi kerap mengharapkan agar SBY bisa diajak bekerja sama. Pengertian ini disimpulkan Rachland sebagai upaya koalisi. Namun, partainya telah tegas menolak. Terutama soal keputusan Presidential Threshold 20 persen.

Sayangnya Syarief belum mau mengonfirmasi soal tawaran menteri buat AHY dari Sidarto. Dia berdalih tengah berada di luar negeri dan enggan menjawab. Sedangkan Djoko mengaku Sidarto hanya meminta bantuannya untuk menemui dengan SBY. ''Dapat telepon dari beliau, meminta apakah saya bisa menyampaikan kepada Pak SBY. Beliau (Sidarto) ingin bertemu Pak SBY,'' ucap Djoko.

Sementara itu, Sidarto enggan menanggapi soal tawaran menteri buat AHY kepada Djoko dan Syarief ketika kami menghubungi via telepon pada Jumat pekan lalu. Jawabannya singkat dan terburu-buru. Dirinya berdalih tidak mengetahui masalah itu.

''Saya engga tahu. Saya tak tahu-menahu soal itu ya. Oke. Terima Kasih,'' jawab Sidarto dan langsung menutup telepon.

AHY memang belum mau mengakui soal tawaran menteri dari Presiden Jokowi. Justru mereka melakukan pertemuan tertutup pada Kamis pekan lalu. Mengenakan batik lengan panjang, Agus tiba di Istana Kepresidenan sekitar jam 11 siang. Agus berdalih hanya meminta doa restu dan mengantarkan undangan menghadiri peluncuran The Yudhoyono Institute untuk Jokowi.

Selain meminta doa dan restu, mantan calon gubernur DKI Jakarta ini sekaligus meminta nasihat dari kepala negara. ''Sekaligus kita minta wejangan dari presiden,'' ujar AHY.

Malam harinya, berlokasi di Ballroom Djakarta Theater, AHY resmi meluncurkan The Yudhoyono Institute. Banyak tamu penting dari dalam dan luar negeri hadir. Mulai dari politisi hingga para pengusaha. Semua tampak meriah dan serba merah. Bahkan dirinya memakai jas merah marun.

Dalam acara itu, dia juga berkesempatan mempresentasikan tujuan mendirikan The Yudhoyono Institute lebih kurang selama setengah jam di depan para tamu. Peluncuran ini sekaligus menjadi kado hari ulang tahunnya ke-39 tahun. Selepas acara, para keluarga besarnya sempat menggelar perayaan kecil bagi mantan mayor TNI AD ini.

Sayangnya AHY enggan membahas mengenai tawaran posisi menteri untuk dirinya. Ditemui setelah acara, suami Anissa Pohan itu meminta agar itu dibahas lain waktu. "Lain kali saja kalau bahas soal itu, saya soalnya buru-buru," ucapnya.

Putra sulung SBY, ini dikenal sebagai anggota TNI AD selama 16 tahun. Selama kariernya, dia pernah menjabat sebagai Komandan Yonif Mekanis 203/Arya Kemuning, Kodam Jaya sejak Agustus 2015 hingga September 2016. Jabatan itu diemban saat dirinya berpangkat Mayor Infanteri sekaligus jabatan terakhir sebelum memutuskan keluar dan memilih berpolitik.

Agus juga pernah dipercaya mengemban berbagai penugasan membanggakan. Salah satunya menjadi anggota Kontingen Garuda XXIII, tergabung dalam Pasukan Perdamaian PBB di Lebanon pada tahun 2006 hingga 2007.

Selama berkarier di militer, suami Annisa Pohan itu juga meraih gelar Master of Public Administration (MPA) dari John Kennedy School of Goverment, Amerika Serikat, tahun 2010. Sementara gelar Master of Arts (MA) di bidang Leadership and Management diperoleh dari George Herbert Walker School of Bussines and Technology, Webster University di Tahun 2015.

Tawaran menteri buat AHY telah ditolak mentah-mentah Partai Demokrat. Penolakan itu ditandai mundurnya Partai Demokrat pada 21 Juli 2017, ketika paripurna undang-undang Pemilu di DPR. Demokrat memilih mundur bersama dengan Partai Gerindra, PKS dan PAN. Mereka menolak keputusan. Sementara enam partai pendukung keputusan Undang-undang Pemilu, antara lain Fraksi PDIP, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Hanura, PPP dan PKB.

Sepekan keputusan, tepatnya 27 Juli 2017, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menemui SBY. Pertemuan itu berlangsung di kediaman SBY kawasan Cikeas. Prabowo disambut meriah. Para petinggi dua partai itu juga hadir.

Nasi goreng menjadi sajian spesial buat Prabowo. Makanan itu dibuat pedagang nasi goreng khas Jawa Timur sudah laman menjadi langganan dan biasa mangkal dekat rumah keluarga SBY. Dalam pertemuan itu, Prabowo dan SBY bersama para petinggi partai sempat menggelar makan nasi goreng bersama di pendopo. Jamuan itu juga mendapat pujian dari Prabowo. ''Intelnya Pak SBY masih kuat, dia tahu kelemahannya Prabowo itu nasi goreng,'' kata Prabowo.

Pertemuan dua partai ini membahas soal keputusan Presidential Threshold. Mereka kecewa atas keputusan itu. Untuk ke depan, mereka mengaku bakal lebih intensif melakukan komunikasi politik untuk membahas masalah ini.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, mengatakan bahwa Presidential Threshold 20 persen tidak masuk akal jika digunakan dalam pemilu 2019 mendatang. Sebab, dalam pelaksanaannya semua dilakukan secara serentak. Termasuk Pilpres dan Pileg.

''Enggak masuk akal sehat ini kalau memang mau memaksakan, dulu Pemilunya engak serentak karena Pileg duluan dan hasil ini dipakai untuk mencalonkan presiden,'' tegas Hinca.

Hinca merasa aneh. Sebab, aturan baru ini bakal memakai dasar Pemilu 2014. Sehingga bagi partai untuk mengusung calon presiden bisa melakukan lobi dari sekarang. Bahkan dikhawatirkan bila Pilpres tetap memaksakan menggunakan Presidential Threshol 20 persen maka tidak menutup kemungkinan bakal muncul calon tunggal. ''Sama kayak nonton bola belum selesai tapi sudah ketahuan hasilnya,'' terangnya.***