BAGANSIAPIAPI - Sekda Rokan Hilir, Surya Arpan menyebutkan, Pelabuhan Bagansiapiapi yang dulu dibangun pada tahun 1924 pernah jaya sebagai pusat perikanan dan perdagangan di Selat Melaka. Kejayaan itu akan dikembalikan melalui restorasi laut teritorial hingga zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil.

''Sebelum ini, hampir semua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia merupakan zona merah bagi ikan dan biota laut lainnya. Artinya, telah terjadi eksploitasi berlebihan (over-exploited) terhadap sumber daya di laut,'' kata Surya Arpan ketika memberikan pemaparan pada Diskusi Masyarakat Riau Pesisir di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

Menurut Sekda, over-exploited bukan disebabkan kapal-kapal lokal, melainkan akibat pencurian ikan oleh kapal-kapal asing dan penangkapan ikan tak bertanggungjawab oleh kapal lokal yang melintasi perairan Rokan Hilir. Gebrakan Kementrian Kelautan dan Perikanan serta dibantu dengan Satgas dalam memerangi penangkapan ikan tidak sah, tidak dilaporkan, dan tidak tertib aturan (illegal, unreported, and unregulated/IUU fishing) dalam dua tahun terakhir telah mengurangi angka pencurian ikan oleh kapal asing secara drastis dilaut Rokan Hilir.

Surya menerangkan, dalam perjalanannya, kapal-kapal eks asing ini justru menjadi sumber permasalahan dalam pengelolaan perikanan di Nusantara.

Sebab, pemilik dan para operator kapal eks asing kerap melakukan pelanggaran, mulai dari menggunakan bendera ganda (double flagging) hingga terlibat tindak pidana perdagangan orang. Khusus dilaut Rohil, yang banyak mengeksploitasi sumber daya laut adalah nelayan asal Malaysia.

''Saya dulu sempat protes ketika orang mengatakan bahwa Ikan di Bagansiapiapi sudah tidak ada. Selama ini kita tidak bisa memantau berapa jumlah ikan yang ditangkap oleh nelayan. Karena mereka melakukan transaksi ditengah laut,'' tukasnya.

Ikan- kan itu kebanyakan dibawa ke Port Klang, Malaysia serta Tanjung Balai Asahan, Sumut. Karena minus dibawa ke Bagansiapiapi disebabkan kita tidak mempunyai Tempat Pelelangan Ikan (TPI), akhirnya, kedua daerah itu yang dapat nama.

Pada zaman dahulu, ekonomi di Bagansiapiapi sangat pesat dan itu dibuktikan dengan berdirinya kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI) kedua pada tahun 1917 setelah Solo. Artinya, pada abad ke 19 itu, ekonomi masyarakat sudah luar biasa.

Indikator keberhasilan suatu ekonomi didaerah ditandai dengan adanya Perbankan. Jadi kantor BRI itu juga salah satu menjadi situs sejarah yang menandakan bahwa taraf kehidupan masyarakat Bagansiapiapi pada era itu sudah sangat bagus.

Masihnya melimpahnya hasil laut Bagansiapiapi diakui salah satu nelayan bernama Ronxy. Pria kelahiran 45 tahun silam itu mengungkapkan, kesulitan nelayan selama ini akhirnya terbantu dengan adanya ketegasan pemerintah agar tidak mencari kerang menggunakan alat tangkap yang dilarang. Dengan aturan itu, nelayan luar tidak berani lagi mengeruk hasil kekayaan laut Rohil hingga dampaknya, populasi kerang makin melimpah.

Didorong pengaruh itu, nelayan Bagansiapiapi jadi bersemangat beraktifitas mencari kerang dan tidak kurang sebanyak 20 ton kerang, bisa mereka dapatkan dalam sehari. Jumlah kapal pencari kerang pun semakin bertambah, total hingga saat ini sudah mencapai 150 unit kapal khusus nelayan kerang bulu dan 50 unit lagi, kapal pencari kerang batu.

Walaupun dengan menggunakan alat tangkap sederhana mirip tangguk yang terbuat dari besi yang dibantu dengan sampan mirip kano berbadan petak, mereka masih sanggup memanen kerang yang cukup banyak dan bahkan bisa menjualnya hingga ke luar Rohil. Banyaknya pesanan datang membuat para nelayan kewalahan untuk memenuhinya.

''Pasaran kerang kita khusus kerang batu yang sudah dikupas, kita pasarkan ke Pekanbaru, Rengat, Tanjung Balai, Dumai, Bengkalis dan Selatpanjang bahkan sampai ke Batam," kata Ronxy.

Menurut Ronxy, keuntungan dari hasil penjualan kerang cukup menjanjikan. Sebelumnya harga kerang Bagansiapiapi kisaran Rp 5000/Kg, namun setelah produksi kerang makin langka diluar sana , harga kerang bisa mencapai Rp8 ribu/Kg.

Enam pelabuhan dipinggiran sungai Rokan pun berubah fungsi. Sebelumnya hanya tempat bongkar muat ikan, kini pemandangan warga sehari hari hanya dapat melihat bongkar muat puluhan ton kerang dengan segala jenis ukuran.

Jika nelayan sibuk mencari kerang dipinggiran sungai Rokan, berbeda apa yang dilakoni oleh para ibu-ibu yang sebagian besar berumur paro baya. Kini mereka disibukkan dengan rutinitasnya bekerja sebagai pengupas kulit kerang.

Satu persatu kerang hasil kupasan mereka ditimbang dan dibungkus dalam plastik sebelum dijual keluar daerah.

''Jika dikumpulkan, hampir 1500 orang terserap sebagai tenaga pengupas kerang. Mereka berasal dari latar belakang serta berbeda umur, kebanyakan dari mereka adalah ibu ibu paruh baya," katanya.

Menurut Ronxy, upah yang diberikan kepada pengupas kerang adalah Rp 4 Ribu/Kg. Kerang hasil yang mereka kupas bisa bertahan hingga seminggu.

Namun sayangnya, kerang asal Bagansiapiapi belum bisa menembus pasar ekspor ke Malaysia. Karena sesuai keterangan importir, kerang asal Bagansiapiapi tidak sesuai dengan ukuran permintaan mereka.

''Kerang kita belum bisa diekspor ke Malaysia karena belum cukup size," tutur Ronxy dengan mimik lesu.

Melihat geliat nelayan kerang, kepala Satuan Polisi Perairan Rokan Hilir, Iptu Sapto Hartoyo mengungkapkan, dirinya berkomitmen untuk membina nelayan agar bisa mandiri melalui koperasi yang sudah mereka bentuk. Akan tetapi, itu semua tergantung kesadaran dari para nelayan itu sendiri untuk menyikapi pentingnya Koperasi.

''Selama membina nelayan disini pada awalnya memang sangat susah. Misalnya ketika memberikan penyuluhan. Namun setelah adanya koperasi, kami mengumpulkan nelayan lebih gampang lagi," ungkap Sapto seraya menyebutkan koperasi yang telah mereka bentuk bernama Koperasi Tuah Nelayan. Sapto berharap, seluruh nelayan harus bersatu, karena apabila bersatu, setiap ada kegiatan atau keluhan yang disampaikan, bisa mereka tampung. Menurutnya, Polair itu adalah mitra nelayan dan jika ada gangguan, pihaknya siap untuk menindaklanjutinya.

''Contohnya selama ini nelayan Rohil mengeluh adanya alat tangkap dari Sumut yang disebut tank kerang menyebabkan hasil tangkapan berkurang. Tapi setelah tidak masuk, alhamdulilah tangkapan jadi melimpah, hargapun bagus sehingga masyarakat nelayan bersyukur karena harga jadi tinggi," tuturnya. (advertorial)