PEKANBARU - Ancaman Uni Eropa untuk memboikot produk sawit dari Indonesia akhirnya dijawab pemerintah lewat moratorium sawit. Presiden menginstruksikan jajarannya melakukan perbaikan tata kelola sawit. Instruksi Presiden menyisakan tugas berat bagi banyak pihak.

Pada 17 Januari 2018, sebuah laporan berjudul Report on the Proposal for a Directive of the European Parliament and of the Council on the Promotion of the use of Energy from Renewable Sources menyebut pembatasan bahan bakar dan makanan dari tanaman yang diduga penyumbang deforestasi. Tanaman sawit yang menjadi landasan laporan tersebut mengundang debat yang berujung pada ancaman boikot Uni Eropa atas produk sawit asal Indonesia.

''Masalah yang diangkat bukan hanya deforestasi. Tapi juga termasuk korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),'' ujar Direktur Perkumpulan Bahtera Alam, Harry Oktavian.

Menurut Harry, laporan tersebut tentu juga berdampak pada ekspor minyak sawit asal Indonesia dalam jangka panjang. Walau sesungguhnya sudah ada kriteria sawit berkelanjutan dalam Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan secara internasional telah pula ada standar dari Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO).

''Standar-standar itu harus dirujuk bila Indonesia mau terlepas dari jerat tuduhan internasional itu,'' tandasnya.

Harry yang berbicara dalam diskusi tentang Moratorium Sawit dan Rencana Tata Ruang Provinsi Riau yang dihelat The Malacca Syndicate di Pekanbaru, 4 Oktober 2018 itu juga menegaskan perlunya sinergi berbagai pihak agar tata kelola sawit berkelanjutan dapat dicapai.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Departemen Pengelolaan Pengetahuan Sawit Watch, Riza Harizajudin menyebut secara nasional setidaknya ada 20 juta haktare perkebunan sawit di Indonesia. Dari angka itu, hanya 13-15 juta hektare yang aktif ditanami sawit dan berproduksi, berikut dengan infrastrukturnya. Sebagian kecil sisanya dijadikan kawasan bernilai konservasi tinggi dan lahan dengan status quo karena konflik.

''Tapi yang paling banyak, lebih dari 5 juta hektare adalah land banking,'' tandasnya.

Land Banking secara sederhana diartikan sebagai tanah-tanah yang dikuasai oleh perusahaan besar namun tidak atau belum dikelola sama sekali.  Lahan terlantar ini tersebar di banyak tempat di Indoensia dan dimiliki oleh grup-grup perusahaan besar.

''Karena itu, moratorium sawit mendesak dilakukan,'' tandas Riza.

Pemerintah baru-baru ini telah menelurkan kebijakan moratorium sawit, melalui Inpres nomor 8 tahun 2018 Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dan Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

''Kami mengapresiasi Inpres itu, tapi banyak pekerjaan rumah yang segera harus diselesaikan,'' kata Riza.

Menurutnya, banyak celah yang harus ditutup jika Inpres tersebut dilaksanakan.  Inpres ini  menuntut kerja keras Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur dan Walikota dalam komando Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

''Sementara Inpres ini efektif berlaku pada masa pemerintahan sekarang. Kita tahu lah, ini kan tahun politik. Pun anggaran di banyak sektor banyak dilakukan efiesiensi,'' kata Riza.

Di daerah, lanjutnya, akan ada banyak kendala dalam penganggaran dan sinergi masing-masing sektor.  Di Riau saja, ini tentu akan berhadapan dengan Rencana Tata Ruang Provinsi yang sudah disahkan melalui Perda nomor 10 tahun 2018.

''Jadi, kalau kita tidak mau dituduh macam-macam oleh Uni Eropa, perlu upaya nyata.  Misalnya segera membentuk gugus tugas khusus dan penganggaran untuk mengimplementasikan Inpres ini,'' tandas Reza.rls