PEKANBARU - Relawan Jokowi Centre (JC) Provinsi Riau mengingatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (Badan Pertanahan Nasional) untuk menunda proses permohonan hak atas tanah, pasca perubahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang sudah disahkan oleh DPRD Riau beberapa waktu lalu. Langkah tersebut untuk memastikan secara hukum legalitas penguasaan dan pengelolaan hutan dan lahan yang selama ini terjadi sebelum Perda RTRW tersebut disahkan.

"Kita meminta agar BPN di Riau dan otoritas terkait lainnya, tidak dulu memproses pengajuan hak atas lahan dan hutan tersebut. Ini adalah masa transisi, sehingga tak perlu buru-buru untuk memproses pengajuan tersebut," kata Koordinator Daerah JC Riau, Raya Desmawanto, MSi, Sabtu (25/11/2017).

Menurut Raya Desmawanto, proses pemberlakuan RTRW Riau saat ini belum bisa dilakukan. Karena masih harus melewati mekanisme verifikasi dari Kementerian Dalam Negeri serta meminta masukan dari lembaga terkait lainnya. Apalagi, hingga saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih memiliki catatan kritis tentang perubahan RTRW tersebut.

Raya melanjutkan, pengajuan hak atas lahan/hutan apalagi dilakukan oleh korporasi dalam luasan yang besar, berpotensi bisa menyimpangkan program reformasi agraria yang sedang digalakkan oleh pemerintahan Jokowi.

Soalnya, sebelum Perda RTRW tersebut disahkan, ada banyak korporasi maupun kelompok dan perseorangan di Riau yang sudah lebih dulu menguasai kawasan hutan, namun telah diputihkan melalui Perda RTRW dan SK Menteri Kehutanan saat dijabat oleh Zulkifli Hasan yang kini merupakan Ketua MPR RI.

Menurutnya, sejumlah data milik lembaga pemerhati lingkungan dan kehutanan menunjukkan bahwa banyak sekali kawasan hutan yang sebelum diputihkan, namun sudah dikelola oleh korporasi maupun kelompok masyarakat menjadi kebun kelapa sawit. Padahal, dari segi legalitas hal tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan.

''Jadi, para korporasi maupun kelompok masyarakat yang sebelumnya telah menguasai kawasan hutan, tidak secara otomatis berhak atas kawasan hutan yang sudah diputihkan lewat Perda RTRW dan SK Menteri Kehutanan tersebut. Justru di situ sebenarnya ada masalah hukum," kata Raya.

Menurutnya, otoritas terkait semestinya melakukan proses hukum terlebih dahulu terhadap korporasi dan kelompok masyarakat yang menguasai lahan eks hutan tersebut. "Karena mereka (korporasi dan kelompok masyarakat) pada dasarnya telah menguasai dan merebut tanah negara secara tidak sesuai dengan ketentuan. Proses hukum mestinya bisa dijalankan," tegas Raya.

Oleh karena itu, sambung Raya, BPN diminta tidak memproses pengajuan hak atas lahan/hutan oleh korporasi dan kelompok masyarakat yang sebelumnya telah menguasai eks kawasan hutan tersebut. ''Dalam masa transisi RTRW ini, sebaiknya BPN tidak memprosesnya. Agar tidak terjadi kekacauan nantinya ketika pemerintah sedang menata program reformasi agraria. JC Riau akan turut mengawasi kondisi saat ini melalui Satgas Reformasi Agraria-Perhutanan Sosial JC Riau," tegas Raya.

Ia menegaskan, penetapan RTRW Riau seharusnya bisa menjadi momentum reformasi agraria di Provinsi Riau. Termasuk dengan pola pengembangan perhutanan sosial (PS).

Apalagi, ada sebanyak 1,6 juta hektar lebih kawasan hutan Riau yang sudah "diputihkan" (menjadi bukan kawasan hutan) dari Perda RTRW tersebut.

Menurutnya, kesenjangan kepemilikan dan penguasaan lahan serta hutan di Riau amat tinggi. Sehingga, mau tidak mau program reformasi agraria lewat beragam pendekatan harus dilakukan. Apalagi, reformasi agraria adalah merupakan salah satu program unggulan dalam konsep Nawacita pemerintahan Presiden Jokowi.

"Jika selama ini penguasaan lahan dan hutan di Riau cenderung didominasi oleh korporasi nasional maupun asing, maka inilah saat dan momentum yang tepat untuk meredistribusi aset tanah secara tepat sasaran dan berkeadilan," pungkas Raya. (rls)