SELATPANJANG - Lemahnya upaya memperjuangkan nasib hutan dan lingkungan hidup di Riau memperlihatkan bahwa gerakan Hang Jebat ekologis (di Riau) belum terorganisir dengan baik. Perjuangan mempertahankan hutan di Riau ini sudah menjadi jihad konstitusi, karena bumi air dan kekayaan alam digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan konglomerat.

Demikian diungkapkan pemuda yang mencukur gundul kepalanya sebagai simbol hutan Riau, DR Elviriadi MSi, ketika berbincang-bincang dengan GoRiau, Minggu (15/10/2017) malam. "Saya baru pulang diundang menteri Siti Nurbaya membahas RTRW Riau. Dari expose teman-teman Eyes on the Forest, alokasi lahan RTRW Riau banyak untuk kepentingan korporasi," kata Elviriadi.

Artinya, tambah pakar lingkungan itu lagi, dengan tanpa legalitas melalui RTRW saja, cukong telah berjaya dimana-mana. Dengan deforestasi dan bencana alam yang memporakporandakan Provinsi Riau. "Apalagi diberi laluan istimewa alias jatah perai dari RTRW itu," ungkap dosen Fapertapet UIN Suska yang dikenal vokal tersebut.

Masih menurut anak watan Kepulauan Meranti ini, kenyataan itu juga mengisyaratkan bahwa para pejuang lingkungan akan berhadapan dengan tantangan makin berat. Oleh karena itu, konsolidasi, strategi, ideologi, komunikasi harus makin jelas dan jitu.

Elviriadi mengaku melihat dengan jelas 4 kelemahan gerakan aktivis lingkungan alias Hang Jebat ekologis di Riau, antara lain;

Pertama, belum ada chemistry (persenyawaan, red) antar berbagai elemen gerakan yang merasa satu ruh dan nafas perjuangan permanen dan tiap detik. Tidak dibatasi oleh hanya ketika undangan pertemuan saja.

Kedua, ia belum melihat setiap kegiatan elemen organisasi itu sebagai amunisi bersama. Sehingga ada rasa segan mau menyampaikan info tersebut ke grup WA, medsos maupun mengirim hasil kegiatan berkenaan. Dalam konsep gerakan, ini namamya tidak melakukan massifikasi isu, kendali isu, dan managemen isu aktual.

Ketiga, belum memasukkan unsur teologis dalam konsep gerakannya. Ketahuilah, kekuatan sejati itu timbul dan terpancar dari unsur esoterik seperti keyakinan pada Tuhan. Kalau hanya andalkan data, validitas investigasi, teknologi peta (spasial) yang akurat, maka bila sudah vis a vis, maka pejuangnya akan bubar, mundur teratur atau biasanya berkelit ganti tema advokasi lingkungan.

Keempat, harus dipahami yang terjadi sesungguhnya bahwa Provinsi Riau dikepung kapitalisme ekologis. Itu sudah komplit didalamnya, ada jaringan mafia, jaringan ke elit politik, ke kampus yang menyediakan ilmuan pelacur, ke parpol, ke pemegang senjata, ke aktivis oportunis, dan macam-macam.

"Nah, menghadapi semua itu perlu gerakan sipil yang kuat. Harus ada sense of interconnection antar organisasi, komunikasi dan laporan intensif tiap ada hal baru," ujar Elvriadi.

"Yang maha penting, ada sandaran teologis atau tidak? Gawat kalau belum, nanti ujung-ujung perang, malah kabur terbirit birit," tambah laki-laki tambun yang telah melanglang buana Benua Eropa dalam menyuarakan penyelamatan lingkungan itu di akhir bincang-bincang. ***