SELATPANJANG - Pengamat lingkungan DR Elviriadi SPi MSi menilai perambahan Taman Nasional Tesso Nilo (TMTN) dan Bukit Tiga Puluh yang berujung Karlahut, adalah dampak dari malprosedur perizinan. Menurutnya, pelepasan kasawan hutan selama ini hanya berdasarkan penunjukan kawasan hutan.

Padahal dalam Surat Keputusan bersama (SKB) antara BPN, Menteri Pertanian dan Menhut serta UU no 41/1999 dijelaskan tata cara perijinan dan pelepasan kawasan hutan. Pertama, penunjukkan kawasan yang dilampiri peta. Kedua, penataan batas yang dilaksanakan oleh panitia tata batas yang dibentuk oleh bupati/walikota sebagai penanggungjawab penyelenggaraan penataan batas kawasan hutan di wilayahnya.

"Penataan batas meliputi pemancangan patok sementara, inventarisasi dan penyelesaian hak pihak ketiga, berita acara pengakuan masyarakat dan terakhir pemetaan hasil tata batas tersebut," kata Elviriadi, Rabu (24/8/2016).

Ditambahkan Elviriadi, selama ini baru penunjukan kawasan, eh tau-tau nya izin keluar. Langsung eksekusi tidak peduli tumpang tindih dengan kebun warga, kawasan hidro-orologis, kubah gambut, zona dengan daya konservasi tinggi.

"Kebijakan malprosedur yang dibiarkan sejak lama ini, diibaratkan orang pacaran belum akad, sudah tinggal serumah. Makanya konflik lahan tinggi karena tidak ada berita acara yang disepakati masyarakat tempatan sebagai tahapan wajib dalam pelepasan kawasan dan perizinan," sesal Elviriadi.

"Karena jurus mabuk eksploitasi lahan gambut itu juga, titik api akan terus membombardir Riau. Soalnya, seluruh lahan gambut di Riau tidak punya supply air tanah, akibat dari jurus mabuk pemangsa izin hutan tadi," tambah Elviriadi.

Lalu, diceritakan Elviriadi juga, sekarang ini Taman Nasional di Riau sedang diokupasi (diambil alih, red) masyarakat, pemerintah mulai repot. Perambahan itu terjadi karena ada preseden (contoh kasus, red). Masyarakat dalam Taman Nasional tahu, bahwa di luar sana ada jutaan hektar lahan hutan yang digarap tanpa prosedur jelas.

"Kenapa pula hanya mereka (perambah taman nasinal) yang diuber-uber," ujar Elviriadi.

Ia pun menyarankan agar pemerintah mengedepankan cara-cara persuasif dan kompromi yang saling memartabatkan. Sebab, kalau represif bisa jadi pertumpahan darah. Dalam teori Max Waber, kata laki-laki bertubuh tambun itu lagi, posisi sudah ditentukan oleh siapa yang hegemonik. Jadi, siapa yang pandai memainkan hegemoni, kelompok kepentingan itu yang menang, tandas lelaki gempal suka humor itu menutup wawancara.

"Saat ini pemerintah sedang menghadapi polemik Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Tesso Nilo dan Giam Siak Kecil yang masyarakat di dalamnya bertahan hidup mati," ujar Elviriadi. ***