JAKARTA -- Diusir keluar pesawat gara-gara menulis pesan memakai bahasa Arab. Itulah yang dialami dua pria Muslim saat menumpang pesawat Alaska Airlines pada Februari 2020 lalu.

Dikutip dari Republika.co.id, dua warga Amerika keturunan Sudan, Abobakkr dan Mohamed, pada konferensi pers virtual, Senin (21/12) mengatakan, hak-hak sipil mereka dilanggar ketika mereka dikeluarkan dari penerbangan domestik Alaska Airlines.

''Ketika kami melakukan perjalanan hari itu, kami tidak diperlakukan seperti halnya orang lain. Itu membuat saya merasa kecil dan tidak setara,'' kata Abobakkr, dilansir di Huffpost, Rabu (23/12).

Sebelumnya, pada 17 Februari 2020, Abobakkr dan Mohamed menaiki penerbangan Alaska Airlines dari Bandara Internasional Seattle-Tacoma ke San Francisco, AS, untuk perjalanan bisnis. Sambil menunggu di kursi kelas satu untuk lepas landas, Abobakkr bertukar beberapa pesan teks dalam bahasa Arab di ponselnya.

Menurut Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), seorang penumpang di dekatnya yang tidak bisa berbahasa Arab memperhatikan dan melaporkan pesan teks itu kepada pramugari sebagai sesuatu yang dianggap mencurigakan. Kedua orang itu kemudian diminta turun dari pesawat dan diinterogasi selama sekitar dua jam.

Abobakkr mengatakan, dia diarahkan untuk menyerahkan teleponnya dan para petugas kemudian memeriksa pesan teks yang dipermasalahkan serta konten lain di teleponnya, termasuk fotonya. Pesan teks itu diterjemahkan oleh perwakilan Alaska Airlines dan mereka ditanyai oleh petugas polisi Pelabuhan Seattle, TSA, dan FBI.

Meski SMS itu dianggap tidak berbahaya oleh polisi, penumpang yang tersisa juga terpaksa turun pesawat agar maskapai bisa melakukan pemeriksaan keamanan kargo dengan unit K9.

Menurut siaran pers CAIR, mereka bahkan mengambil langkah tambahan dengan mengosongkan tangki toilet kelas satu hanya karena salah satu pria telah menggunakan kamar mandi saat menunggu penerbangan yang tertunda.

Dua pria Muslim itu mengatakan, mereka merasa sangat terhina dan tertekan ketika penumpang lain yang turun dari pesawat dibawa melewati para pria tersebut saat mereka diinterogasi.

Bahkan, setelah penyelidikan menyimpulkan mereka tidak menimbulkan ancaman, kedua pria Muslim tersebut mengatakan perwakilan Alaska Airlines melarang mereka naik kembali ke penerbangan awal mereka.

Mereka kemudian memesan penerbangan terpisah sehingga terpaksa melewatkan acara mereka di San Francisco. Mohamed mengungkapkan, ia merasakan kemarahan dan penilaian yang ditujukan kepadanya dari penumpang lain.

''Itu adalah hari yang menyedihkan dari awal hingga akhir,'' kata Mohamed.

Mereka mengatakan, tidak berbicara tentang insiden tersebut pada saat itu karena mereka berharap Alaska Airlines akan menebus kesalahan. Di samping itu, mereka juga tidak ingin memperkeruh situasi setelah industri penerbangan mengalami kesulitan keuangan selama puncak pandemi virus corona.

Namun, dengan datangnya vaksin dan lebih banyak orang bepergian, kedua pria ini memutuskan mengumumkan kisah mereka kepada publik. Abobakkr dan Mohamed mengatakan, sulit membicarakan pengalaman mereka terbang dengan Alaska Airlines.

Mereka cenderung memikirkan kembali bagaimana mereka menjalani perjalanan di masa depan. Kedua pria itu meminta permintaan maaf dari maskapai, pengembalian uang tiket mereka, dan peninjauan kebijakan dan pelatihan kompetensi budaya untuk menangani kejadian serupa di masa depan dengan lebih baik.

''Saya akan melanjutkan proses ini karena saya ingin maskapai penerbangan berhenti melakukan ini kepada siapa pun. Kami berbicara tidak hanya untuk orang Muslim, tetapi untuk setiap orang, siapa pun itu,'' kata Abobakkr.

Insiden terbaru ini merupakan salah satu contoh dari apa yang banyak penumpang Muslim dan Timur Tengah gambarkan sebagai 'terbang sebagai Muslim', sebuah pola pengalaman diskriminatif yang dihadapi penumpang di Bandara. 

Sejak insiden 9/11, pelancong Muslim dan Arab mengatakan, mereka kerap ditarik kembali untuk dilakukan pemeriksaan sekunder setiap kali mereka bepergian.

Mereka diajukan pertanyaan pribadi tentang pandangan agama dan politik mereka atau bahkan dikeluarkan dari pesawat karena bias etnis dan agama yang tidak beralasan. 

Direktur Eksekutif CAIR cabang negara bagian Washington, Imraan Siddiqi, mengatakan, 'terbang sebagai Muslim' kini telah menjadi fenomena kecurigaan dan penghinaan yang diakui secara global dan fenomena itu harus dihentikan.

''Kami menyerukan Alaska Airlines untuk mengatasi penganiayaan atas orang-orang ini dan untuk semuanya,'' kata Siddiqi.

CAIR, yang merupakan organisasi hak-hak sipil nasional, ini mengatakan insiden Februari tersebut bukanlah yang pertama dari jenisnya. Kelompok tersebut telah menerima banyak keluhan serupa dari para pelancong Muslim selama bertahun-tahun.

Organisasi hak-hak sipil lainnya seperti American Civil Liberties Union dan Muslim Advocates juga telah mendokumentasikan kekhawatiran atas penggunaan karakteristik personal untuk menggeneralisasikan seseorang (profiling) secara diskriminatif yang melibatkan beberapa maskapai penerbangan yang berbeda. Tim CAIR-WA mengatakan, mereka berharap akan menyelesaikan masalah ini dengan Alaska Airlines. Kendati begitu, mereka juga siap untuk mengajukan gugatan jika perlu.

Sementara itu, maskapai Alaska Airlines menyatakan permintaan maafnya atas perlakuan yang diterima dua pria Muslim tersebut. Juru bicara maskapai mengatakan maskapai telah membuka penyelidikan internal untuk menentukan apakah ada langkah yang keliru di pihak mereka.

''Kami mohon maaf karena dua tamu kami mengalami pengalaman yang menyedihkan pada Februari lalu ketika mereka dikeluarkan dari penerbangan setelah sesama penumpang menjadi khawatir dengan pesan teks yang dibagikan oleh teman sebangku. Alaska Airlines dengan tegas melarang diskriminasi yang melanggar hukum, dan kami menanggapi keluhan tersebut dengan sangat serius,'' kata juru bicara Alaska Airlines kepada HuffPost dalam pernyataan yang dikirim melalui email.

Tidak jelas berapa banyak penumpang Muslim dan Timur Tengah, serta mereka yang dianggap Muslim, menjadi sasaran setiap tahunnya, karena tidak ada organisasi yang melacak insiden tersebut. Namun, banyak keluhan dan tuntutan hukum telah diajukan.

Pada 2009, pejabat Administrasi Keamanan Transportasi dan JetBlue membayar senilai 240 ribu dolar AS untuk menyelesaikan dakwaan bahwa mereka secara ilegal mendiskriminasi penduduk AS berdasarkan etnisnya. Hal itu setelah dua agen TSA meminta penumpang melepas bajunya yang bertuliskan kalimat bahasa Arab.

Pada 2012, Atlantic Southeast Airlines menerima hukuman perdata sebesar 25 ribu dolar AS karena secara tidak sah mengeluarkan dua imam dari penerbangan dan tidak mengizinkan para pemimpin agama naik kembali ke pesawat setelah pejabat penegak hukum memutuskan mereka tidak menimbulkan ancaman apa pun.

Pada 2015, empat Muslim, dua di antaranya keturunan Timur Tengah, dikeluarkan dari penerbangan mereka di Baltimore setelah seorang penumpang mengeluh tentang aktivitas mencurigakan. Aktivitas yang dimaksud padahal ketika seorang penumpang Muslim hanya membaca laporan berita di teleponnya.

Pada 2016, seorang pelancong yang juga menggunakan Alaska Airlines, mengatakan dia tidak dapat naik ke pesawatnya setelah penumpang lain mengeluh tentang janggutnya dan mengatakan dia tampak ''Arab dan menakutkan''.

Pada tahun yang sama, seorang pengungsi Irak dikeluarkan dari penerbangan Southwest setelah penumpang lain mendengarnya berbicara bahasa Arab di ponselnya.

Selanjutnya, pasangan Muslim dari Ohio yang kembali dari perjalanan Eropa untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka dikeluarkan dari penerbangan Delta Air pada Juli 2016, setelah seorang pramugari mengeluh kepada pilot bahwa pasangan tersebut membuatnya tidak nyaman.***