JAKARTA - Pusat Hak Asasi Muslim (Pushami), mendorong Polri melakukan audit kinerja dan anggaran Densus 88. Dorongan itu, sampai pada tingkat rekomendasi pembubaran Densus 88.

Pushami, mendasari hal tersebut pada kinerja Densus 88 yang dinilai Extra Legal Procedure yang berakibat terjadinya Gross Violation of Human Rights. Terorisme yang dikategorikan sebagai Extra Ordinary Crime, dinilai menjadi batalan dalih.

Dalam siaran persnya yang diterima GoNews.co pada Kamis (14/03/2019), Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Publik Pushami, Jaka Setiawan mencontohkan penangan kasus Siyono yang menjadi korban salah tangkap dan berujung kematian.

"Ini adalah pelanggaran HAM berat. Bubarkan Densus 88 jika kasus-kasus serupa Siyono tidak bisa diungkap dalang, latar belakang, dan pelakunya," kutipan siaran pers tersebut.

Dijelaskan, kasus kematian Suyono terjadi justru pada masa 7 hari penangkapan yang diartikan secara serampangan oleh aparat Densus 88.

"Praktek tersebut jelas bertentangan dengan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia yang telah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1998," kata Jaka.

Jaka mengurai, deklarasi tersebut memuat perlindungan terhadap semua orang dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.

Ia melanjutkan, Istilah 'penyiksaan' berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga.

Atau untuk suatu alasan apa pun yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan atau sepengetahuan seorang pejabat publik atau orang lain yang bertindak di dalam kapasitas publik.

Padahal, Tindakan penahanan sewenang-wenang (arbitrary detention) melanggar Pasal 18 ayat (1) UU No 8 Tahun 1981 dan Pasal 34 UU No 39 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang sewenang-wenang.

"Dengan demikian, tindakan arbitrary detention merupakan pelanggaran HAM," ujarnya.

Pasal 33 ayat (1) mengamanatkan, Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya dan Pasal 34 UU No 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, dipaksa, dikecualikan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang.

"Hak untuk tidak disiksa ini merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun sebagaimana yang dimaksud Pasal 4 UU HAM 1999," demikian Pushami.***