Kalau beberapa waktu lalu aku melihat joget suku akit di Pulau Padang masih tradisional, menggunakan biola, bebano, dan tetawak, namun tidak di Desa Gogok Kecamatan Tebingtinggi Barat, Kepulauan Meranti, Riau. Awal April 2015 lalu juga ada joget suku akit tapi sudah modern.

Sore tanggal 2 April 2015, setelah salah satu warga suku akit di Desa Gogok menggelar pernikahan, beredar kabar bahwa ada joget malam harinya. Aku kembali penasaran untuk melihat joget dan berencana membuat tulisan budaya. Aku terbayang perempuan suku akit berjoget mengenakan kebaya, kain batik panjang, diiringi musik tradisional dan penyanyi alahkadarnya. Rupanya aku salah. Pemandangan malam itu sungguh jauh dari sangkaan. Aku tak lagi melihat perempuan suku akit seperti di joget Pulau Padang dulu. Biar kuceritakan bentuk acara dan penari pada joget suku akit di Desa Gogok malam itu. Dari kejauhan aku melihat lokasi pernikahan yang berjarak sekitar 70 meter dari jalan utama ada keramaian. Dihiasi lampu-lampu dan tenda. Dari kejauhan itu pula ku dengar ada musik house (tripping, musik on bahasa daerah setempat, red). Terlihat pula sekitar 14 penari (7 perempuan dan 7 laki-laki). Tertegun memang aku melihatnya. Bukan takjub, tapi karena pemandangannya yang aneh. Aku melihat gadis-gadis suku akit itu bergebeng (menari berpasangan, red) dengan pemuda, sepasang. Mereka meliuk-liukkan tubuh selama musik berputar. Aku semakin penasaran, karena waktu itu aku belum tahu sebenarnya joget suku akit malam tersebut seperti apa alirannya. Lama aku memperhatikan mereka yang sedang menari itu. Meski belum mengerti, tapi yang jelas aku melihat nakalnya liuk tubuh 7 gadis suku akit itu. Walau tak begitu seksi, tapi goyangan seperti orang sedang berada di diskotik. Memang mereka mengenakan celana jeans panjang, tapi baju kaos yang ngepas di Body sedikit memancing aura jantan. Goyangan yang ditunjukkan juga seperti orang yang sedang fly setinggi-tingginya. Tak mau berlama-lama penasaran, aku menghampiri pemuda yang bertugas memutarkan musik. Setelah aku duduk di sampingnya, aku melihat sumber musik itu berasal dari MP3 ponsel milih gadis suku akit. Beberapa ponsel touch screen terlihat di meja itu. "Lagu goyang dumang," kata salah seorang pemuda kepada lelaki yang seolah-olah DJ itu, lalu lagu goyang dumang pun diputar. Menarilah 7 perempuan suku akit dan pemuda yang memesan lagu tadi. Kemudian aku mulai bertanya. "Berapa harga satu lagu bang," tanyaku kepada pemuda yang bertugas memutarkan musik itu. "Tiga puluh ribu," jawab pemuda itu singkat. Aku lihat banyak uang di dalam buku, saat pemuda itu menulis-nulis, seperti me-neli kayu balak. "Tiga puluh ribu itu untuk berapa orang (penari, red)," tanyaku lagi. "Tujuh orang bang," jawab pemuda itu. Aku baru mulai ngerti, rupanya kalau ingin berjoget atau menari dengan gadis suku akit itu harus membayar Rp30 ribu untuk satu lagu (3-4 menit MP3 ponsel). Rata-rata pemuda membayar Rp210 ribu untuk 7 lagu (per paket). Jadi, satu orang cukup mengeluarkan Rp30 ribu untuk berjoget sekitar 30-35 menit (dengan perkiraan 1 lagu menghabiskan waktu 4-5 menit). Beberapa gadis suku akit yang menjadi penari pun tak lepas dari serangan pertanyaanku. Aku menghampiri gadis suku akit itu disela-sela istrahatnya setelah menghabiskan satu lagu saat berjoget. "Capek yah dek," tanyaku sok akrab. "Tidak bang, sudah biasa," jawab gadis suku akit itu dengan logat akitnya, sambil mendinginkan badan dengan kipas dari karton. "Biasanya sampai jam berapa joget," tanyaku lagi. "Dilayan sampai kapanpun bang, kalau ada yang beli (membeli, red) lagu, ya goyang terus," kata penari itu lagi. Tak banyak yang bisa ku tanyakan, karena waktu itu musik kembali berbunyi dan gadis suku akit itu harus kembali menari menemani laki-laki yang sudah membeli musik tadi. Tak mau kehilangan bahan tulisan, aku mencoba mencari-cari narasumber lain. Ku dapatilah seorang perempuan bertubuh kurus, merokok, dan terlihat suka mengunyah sirih (dari warna giginya, red). Rambutnya ikal, pendek. Namanya Ata. Aku memanggilnya Kak Ata. Setelah kenalan singkat, kami pun langsung akrab. Entah karena aku mudah senyum atau pintar menggoda perempuan, yang jelas Kak Ata begitu terbuka untuk bercerita. Eeh,,,itu tidak serius, aku tidak pintar menggoda perempuan, hehe...rupanya Kak Ata ini ketua rombongan pe-joget. "Kak, kemarin aku lihat joget suku akit, musiknya dimainkan secara tradisional. Tapi malam ini beda, bisa kakak jelaskan ini sebenarnya joget apa," kataku saat ngobrol bersama ketua tim joget ini. "Ini kesenian budaya suku akit, tapi sudah bersifat modern," kata Kak Ata menjawab. "Kalau mau mengundang grup joget ini, bagaimana caranya, terus bayar berapa," tanyaku malam itu."Bayarnya dua juta rupiah dari pukul 20.00 WIB sampai pukul 03.00 WIB dinihari. Tapi kalau ada terus yang membeli lagu, ya kita layan. Tarifnya tiga ratus ribu per jam setelah jam 03.00 WIB itu," kata Kak Ata menjelaskan.Menurut penjelasan Ata pula, seluruh penari yang ia bawa belum bekeluarga sama sekali. Anak kandungnya sendiri ada 4 orang dalam grup joget ini. Bagi mereka (penari, red) yang sudah bekeluarga boleh atau tidak diizinkan lagi untuk jadi penari. Bermodalkan penari-penari muda ini, jam terbang pun semakin jauh. Ata mengungkapkan Ia bersama tim pernah bermain di Pulau Rupat selama satu bulan 3 hari."Kita dari Ketapang Hilir, mereka juga ada anak saya, ponakan, dan warga sekitar. Kita pernah main di banyak tempat, kalau tempatnya agak jauh nanti tarif yang harus dibayar dibicarakan dulu, mengingat ongkos bepergian itu tidak sama di semua tempat," kata Ata lagi.Memang malam itu goyangan gadis suku akit ini memancing aura jantan penonton yang hadir. Namun, ketika aku mendekati penari ini, tidak terlihat mereka mengkonsumsi barang-barang aneh layaknya di sebuah klub malam. Mereka tidak terlihat minum minuman beralkohol, apalagi narkoba. Mereka hanya minum air mineral atau minuman manis lainnya ketika beristrahat.Bagi warga Meranti dan sekitarnya tertarik untuk menggunakan jasa joget ini, bisa menghubungi Ata di nomor 0813 7273 0463. Semoga hiburan alternatif ini terus dipakai, sehingga kesenian Suku Akit tetap nampak, meski sudah membaur dengan perkembangan zaman.(zal)