PEKANBARU, GORIAU.COM - Pelantikan pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau ternyata sarat dengan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Kebobrokan itu juga diperkeruh dengan permainan lobi yang bisa menggeser posisi seseorang dan menabrak aturan yang ada.

Bagaimana siklus permainan dan pelengggaran yang terjadi. Berikut kami muat surat terbuka salah seorang pembaca GoRiau.com, yang juga merupakan PNS Pemprov Riau yang disampaikan pagi, Senin (2/3/2015).

***

Bersama surat ini saya memperkenalkan diri selaku PNS Pemprov Riau, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada bapak/ibu, terkait dengan polemik atas penyerahan Surat Keputusan Plt. Gubernur Riau tentang Pelaksana Tugas (Plt) bagi seluruh kepala SKPD Prov.Riau (Plt. Eselon 2) pada tanggal 17 Februari 2015 dan pelaksanaan Mutasi (Pelantikan) pejabat eselon 3 dan 4 di Lingkungan Pemprov Riau pada tanggal 23 Februari 2015 yang lalu.

Didalam penyerahan SK Plt bagi seluruh Kepala SKPD Prov Riau dan mutasi yang dilakukan tersebut terdapat kejanggalan atau pun kesalahan yang dilakukan secara sengaja dan terorganisir oleh pejabat di BKD (Kepala Badan, Sekretaris dan Kabid Mutasi, Sekda Provinsi Riau maupun salah satu pejabat penting di Biro Hukum yang secara hukum dan peraturan perundang-undangan berlaku sangat bertentangan atau tidak patut/dibenarkan, karena ada beberapa eselon baik di level 3 maupun eselon 4 yang tidak diletakkan sesuai eselonisasinya atau tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan aturan lainnya.

Untuk bapak/ibu ketahui, didalam Perda SOTK Provinsi Riau Nomor 1, 2 dan 3 Tahun 2014 terdapat 51 SKPD yang terdiri dari 9 Biro, 18 Dinas dan 23 Badan ditambah 1 Setwan dilingkungan Pemrov Riau, yang menjadi permasalahan hukum sekarang dan berimpilkasi kepada kerugian keuangan daerah salah satunya adalah :

1. Pelaksanaan pelantikan (mutasi) ini sangat dipaksakan dan merugikan personal PNS yang sebelumnya telah duduk dalam jabatan, karena masih banyak pejabat yang di Non Job kan dan proses mutasi kali ini sangat sarat dengan KKN oleh pejabat yang mempunyai kepentingan karena diproses oleh orang-orang yang tidak berkompeten (diluar birokrasi/pihak ketiga) dan sampai hari ini tanggal 26 Februari 2015 tiga hari setelah mutasi dilaksanakan masih banyak perombakan personel atau jabatan setelah SK mutasi dibacakan dan disumpah yang seharusnya hal ini tidak boleh dilakukan.

2. Eselonisasi yang terdapat pada RSUD Arifin Achmad dan RSJ Tampan tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan aturan turunannya. Kenapa demikian? untuk diketahui bersama bahwa RSUD Arifin Achmad didalam administrasi secara teknis dan operasional merupakan rumah sakit dengan tipe B dan RSJ Tampan dengan tipe A (karena rumah sakit khusus) dapat bapak/ibu kroscek langsung baik ke Kementerian Kesehatan ataupun ke RSUD, didalam Peraturan Pemerintah tersebut sangat jelas diatur bahwa jabatan seorang direktur rumah sakit umum daerah kelas B, dan direktur rumah sakit khusus daerah kelas A seperti RSJ Tampan merupakan jabatan struktural eselon II.b, wakil direktur rumah sakit umum kelas B, wakil direktur rumah sakit kelas A, merupakan jabatan struktural eselon III.a, serta kepala bagian dan kepala bidang pada rumah sakit daerah merupakan jabatan struktural eselon III.b.

Sehingga pada pelantikan (mutasi) yang dilakukan pada tanggal 23 Februari 2015 yang lalu untuk jabatan seluruh eselon 3.a (sembilan jabatan pada RSUD Arifin Achmad dan 6 jabatan pada RSJ Tampan) pada posisi kepala bagian atau kepala bidang yang dilantik pada kedua rumah sakit ini cacat hukum karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (tidak mempunyai dasar hukum), yang seharusnya dilantik pada posisi eselon 3.b, begitu pula halnya dengan pembagian SK Plt untuk jabatan wakil direktur yang seharusnya diposisikan pada jabatan eselon 3.a namun kenyataannya diposisikan pada eselon 2.b.

Dan bisa dibayangkan dan dihitung-hitung kalau dikaitkan kepada pemberian tunjangan pada jabatan ini berapa banyak kerugian keuangan daerah (milyaran) akibat kesalahan yang sengaja dikondisikan untuk kepentingan segelintir pejabat. Hal ini sudah berlangsung selama 7 tahun (mulai pada Perda SOTK Nomor 7, 8 dan 9 Tahun 2008 (yang lama) sampai dengan SOTK yang baru Perda Nomor 1,2 dan 3 Tahun 2014). Yang anehnya lagi setiap tahun dilakukan pemeriksaan baik oleh BPK perwakilan Riau, Irjen Pusat ataupun Inspektorat Provinsi tidak pernah dijadikan temuan kerugian keuangan daerah.

Sebagai ilustrasi pada RSUD Arifin Achmad tipe/kelas B:

- 1 org Direktur/ 3 orang Wakil Direktur Tunjangan Beban Kerja (TBK) ± 10 Juta-an/bulan (eselon 2.a/b)

- Kabid/Kabag Tunjangan Beban Kerja (TBK) ± 7 Juta-an/bulan (eselon 3.a)(Kondisi sekarang eselonisasi jabatan struktural yang dipakai)

Seharusnya sesuai dengan Eselonisasi yang diatur dalam PP Nomor 41 Tahun 2007:

- Direktur Tunjangan Beban Kerja (TBK) ± 8 Juta-an/bulan (eselon 2.b) - Wakil Direktur Tunjangan Beban Kerja (TBK) ± 7 Juta-an/bulan (eselon 3.a)- Kabid/Kabag Tunjangan Beban Kerja (TBK) ± 6 Juta-an/bulan (eselon 3.b)

Jadi selisih :

- Direktur Tunjangan Beban Kerja (TBK) ± 2 Juta-an/bulan (eselon 2.b) - Wakil Direktur Tunjangan Beban Kerja (TBK) ± 3 Juta-an/bulan (eselon 3.a)- Kabid/Kabag Tunjangan Beban Kerja (TBK) ± 1 Juta-an/bulan (eselon 3.b)

Ini hanya baru pada TBK yang saya ilustrasikan, belum lagi pada tunjangan khusus/insentif yang rata-rata ± hampir 30 Juta-an per Direktur / Wakil Direktur dan penjenjangan pada eselon kebawahnya, dan ini belum lagi kalau di ilustrasikan pada RSJ Tampan. Jadi dapat dibayangkan kalaulah dihitung mulai dari tahun 2009 s/d 2015 ini berapa besar kerugian keuangan daerah akibat dari kesengajaan dan lobi-lobi pihak pejabat dari RSUD/RSJ mengkondisikan eselonisasinya.

3. Kesalahan meletakan eselonisasi jabatan ini juga terjadi pada SKPD lain seperti salah satunya yang terdata pada Sekretariat Korpri ataupun SKPD lain yang sampai hari ini kalau ditelusuri banyak terjadi kesalahan fatal karena tidak sesuai dengan PERDA SOTK yang baru, yang seharusnya pejabat eselon 3 tersebut dilantik BUKAN pada posisi jabatan struktural eselon 3.a namun yang benar adalah pada posisi eselon 3.b sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan yang berlaku.

Oleh karena itu dari apa yang saya sampaikan kepada Bapak/ibu, dapat saya pertanggung jawabkan kebenarannya karena sebelumnya sudah saya pertanyakan langsung kepada pejabat yang bersangkutan dan berwenang yang menangani SOTK ini serta ada bukti-bukti tertulis yang mungkin nantinya akan saya sampaikan apabila permasalahan ini mudah-mudahan dapat bapak/ibu kembangkan/beritakan dan kiranya dapat ditanyakan langsung kepada sumber-sumber yang telah saya sebutkan diatas atau dikroscek sebagai klarifikasi kebenaran demi tegaknya reformasi birokrasi di Pemerintah Provinsi Riau dan mudah-mudahan kedepan menjadi pembelajaran kita semua, karena saya sebagai PNS sangat tidak mengerti dengan kekacauan kebijakan birokrasi yang dibuat oleh pejabat-pejabat ini.

Surat ini juga akan saya sampaikan secara tertulis khusus kepada Mendagri, Menpan RB, KPK, BPK pusat untuk kiranya diproses secara serius dan secara hukum.Terima kasih…