JAKARTA, GORIAU.COM - Anda pemilik kebun sawit? Mulailah membayar pajak pertambahan nilai (PPN) untuk setiap penjualan tandan buah segar (TBS). Pasalnya, Mahkamah Agung telah pembatalan beberapa pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang terkait dengan barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan. Dengan putusan itu koperasi rakyat menjadi salah satu pihak yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Serikat Petani Kelapa Sawit menilai, putusan Mahkamah Agung itu akan memberatkan petani kelapa sawit di Indonesia. Sebab dengan putusan itu koperasi rakyat akan dikenakan PPN.

Demikian dikatakan Saut Sinaga, Kepala Departemen Policy and Governance SPKSdi Jakarta, Rabu 1 April 2015.

Menurut Saut, putusan MA tak sejalan dengan UUD 1945. Bahkan akan menimbulkan masalah baru. Karena di sisi lain pemerintah sedang mengusahakan peningkatan produktivitas hasil perkebunan rakyat. Namun di sisi lain lagi, negara mengutip hasil produksi pertaniannya dengan pengenaan PPN 10 persen.

''Ini akan membuat koperasi-koperasi rakyat tidak akan maju dan petani tidak sejahtera,'' kata Saut.

Sebagaimana diketahui, kata Saut, petani kelapa sawit mengelola sekitar 43 persen dari perkebunan sawit Indonesia. Negara juga telah mengutip melalui pengenaan bea keluar sebesar US$ 750 per ton, pungutan tetap US$ 50 per ton. Belum lagi, pemerintah baru saja menaikkan BBBM yang semakin memberatkan petani dan koperasi. Saat ini, petani membutuhkan bantuan pemerintah. Tapi negara justru mengutip pajak.

''Crude Palm Oil Fund (CPO Fund) yang dibentuk oleh Kementerian Perekonomian adalah untuk kepentingan pengusaha bagi pertumbuhan industri hilir, bukan untuk petani dan koperasi,'' kata dia.

Saut pun kemudian mengutip isi surat yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2014 tanggal 25 Juli 2014 ditegaskan bahwa penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) merupakan Barang Kena Pajak yang dikenakan PPN. Dasar pertimbangan putusan MA sendiri adalah bahwa pembebasan PPN atas penyerahan barang hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagaimana diatur di dalam PP No 31/2007 bertentangan UU No 42/2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

''Implikasi dari kebijakan tersebut setiap koperasi yang memiliki omzet atau eredaran usaha lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun seperti yang diatur dalam Permenkeu No 197/PMK.03/2013 wajib mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan melakukan pemungutan PPN sebesar 10 persen atas setiap penyerahan TBS dan bagian-bagiannya seperti yang ada pada lampiran Surat Edaran Dirjen Pajak No SE-24/PJ/2014 Tanggal 25 Juli 2014,'' tutur Saut.

Saut sendiri menilai kebijakan tersebut tentunya sangat memberatkan para petani yang menjadi anggota koperasi. Menurutnya, koperasi tidak akan maju dan akan terus dikebiri oleh negara. Dan kebijakan itu juga hanya menguntungkan pengusaha skala besar.

''Hal inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk mengkaji lagi terkait pengenaan PPN 10 persen terhadap barang hasil perkebunan sebagai barang kena pajak strategis,'' katanya.

Seharusnya kata Saut, terhadap koperasi rakyat terutama sektor perkebunan dan pertanian yang merupakan penopang perekonomian petani dibebaskan dari pengenaan PPN. Sebab koperasi rakyat sendiri pada hakekatnya dibangun atas dasar untuk pemenuhan kebutuhan bersama bagi para petani serta dalam membangun keberlangsungan produksi hasil pertanian rakyat. Sehingga koperasi dapat meningkatkan pendapatan para petani.

''Sebagaimana sebelumnya diatur di dalam PP Nomor 31/2007, pembebasan PPN ini bertujuan untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan memperlancar pembangunan nasional dan melindungi petani,'' katanya. (pri)