JAKARTA, GORIAU.COM - Pemerintah menganggap pengaturan pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), beserta ancaman sanksinya dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sudah sangat jelas, tegas, tidak multitafsir dan adil bagi semua orang.

Sebab, tidak mungkin suatu usaha kegiatan pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan sebelum terbitnya izin lingkungan dan atau izin PPLH oleh pejabat berwenang. Karenanya, dalil pemohon bahwa Pasal 59 UU ayat (1) dan (4) UU PPLH memungkinkan kondisi sebuah usaha tidak/belum diberikan izin untuk mengelola limbah B3, tidaklah benar.

''Dalil pemohon hanya asumsi pemohon,'' kata Deputi Bidang Pentaatan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup, Sudaryono dalam sidang lanjutan pengujian UU PPLH yang dimohonkan terhukum korupsi bioremediasi Bachtiar Abdul Fatah di ruang sidang MK, Rabu (23/4/2014).

Sudaryono menjelaskan perizinan memiliki fungsi yuridis preventif dan pengendalian sekaligus. Fungsi yuridis preventif untuk mencegah pemegang izin melanggar persyaratan izin dan peraturan perundang-undangan dengan mencantumkan norma larangan dan norma perintah yang dilekatkan dalam keputusan izin itu.

Dengan begitu, penanggung jawab usaha pengelolaan limbah B3 sebagai pemegang izin telah mengetahui dan memahami dengan pasti segala kewajiban, perintah, dan larangan, sehingga tercegah dari pelanggaran hukum. ''Dalam pengendalian, untuk mencegah, mengatasi, dan menanggulangi penyebaran dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan secara cepat, tepat dan terkoordinasi,'' paparnya.

Karenanya, cukup beralasan apabila Pasal 59 UU PPLH mengatur pengelolaan limbah B3 harus dengan memperoleh izin dari menteri, gubernur, walikota/bupati sesuai kewenangannya. Tujuannya, agar pemerintah dan pemangku kepentingan dapat melaksanakan kewajibannya terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pemerintah juga memandang Pasal 95 ayat (1) adalah sistem penegakan hukum satu atap yang dikenal dengan one roof enforcement system (Ores). Secara umum pun sudah dikenal integrated criminal justice system (penegakan hukum pidana terpadu). Karena itu, penegakan hukum lingkungan terpadu antara penyidik PPNS, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri Negara Lingkungan Hidup merupakan upaya sungguh-sungguh agar penegakan hukum lingkungan efektif dan efisien.

''Bentuk kerja sama penyidik PPNS dan penyidik polisi berupa bantuan personil dalam eksekusi putusan, laboratorium forensik, psikologi, dan lain-lain. Bentuk kerja sama dengan jaksa menyangkut asistensi dan konsultasi dalam penerapan konstruksi hukum sebelum atau selama proses penyidikan,'' ujarnya.

Dalam persidangan yang diketuai hakim Arief Hidayat, pemohon akan mengajukan beberapa saksi dan ahli dalam persidangan berikutnya. ''Tanggapan pemerintah yang menyatakan dalil pemohon hanya didasarkan asumsi, akan kita jawab melalui keterangan saksi dan ahli,'' kata kuasa hukum Bachtiar, Maqdir Ismail.

Sebelumnya, terhukum dua tahun penjara korupsi bioremediasi Bachtiar Abdul Fatah memohon pengujian Pasal Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU PPLH terkait kewajiban izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), beserta ancaman sanksinya.

Pasal 59 ayat (1) dan (4) UU PPLH dinilai kontradiktif. Satu sisi, penghasil limbah B3 diwajibkan untuk mengelolanya, jika tidak bisa dikenai sanksi pidana. Sisi lain pengelolaan limbah wajib memperoleh izin menteri, gubernur/walikota/bupati. Sebab, Pasal 59 ayat (4) memungkinkan terjadi kondisi alasan tertentu instansi berwenang belum memberi izin penghasil limbah B3 untuk wajib mengelola limbahnya.

Sementara keberadaan kata ''dapat'' dalam Pasal 95 ayat (1) UU PPLH menciptakan ketidakpastian karena membuka kemungkinan ''penegakkan hukum terpadu'' hanya sekadar slogan tanpa pelaksanaan. Hal ini juga memberi peluang aparat penegak hukum jalan sendiri-sendiri dengan mengabaikan semangat UU PPLH menegakkan hukum terpadu di bawah koordinasi Menteri Lingkungan Hidup. Karenanya, kata ''dapat'' dinyatakan batal.

Frasa ''tindak pidana lingkungan hidup'' Pasal 95 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk ‘tindak pidana terkait dengan lingkungan hidup’, seperti tindak pidana korupsi. Selain itu, frasa “di bawah koordinasi Menteri" Pasal 95 ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai di bawah koordinasi Menteri kecuali Menteri berdasarkan bukti permulaan yang cukup diduga terlibat pidana yang sedang disidik. Pemohon juga meminta MK membatalkan Pasal 59 ayat (4) jo Pasal 102.

Untuk diketahui, Bachtiar selaku General Manager Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) telah dihukum 2 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta karena terbukti melanggar UU PPLH. Bachtiar terbukti melanggar Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ***