MEMBANDINGKAN Jokowi dengan Boediono bukanlah sesuatu yang tepat. Jokowi presiden RI sedangkan Boediono ''hanya'' wakil presiden. Namun sebaliknya, Boediono adalah seorang yang sudah kenyang pengalaman di struktur pemerintahan elit Indonesia sedangkan pengalaman tingkat nasional Jokowi ''cuma'' dua tahun menjabat gubernur DKI Jakarta. Lagi pula keduanya menjabat di periode jabatan yang berbeda.

Tetapi bagi saya ia menjadi terbandingkan. Sebab bagi saya keduanya adalah pucuk pemimpin tingkat nasional, dimana dalam rangkaian kegiatan pendidikan di Lemhannas RI, kami punya kesempatan mendapat pembekalan dari presiden dan wakil presiden RI. Hanya saja, karena periode pendidikan yang melewati masa transisi pemerintahan maka bertemunya juga pada presiden dan wakil presiden yang berbeda periode pula. Wapres Boediono pada tanggal 16 September 2014, sedangkan Jokowi 18 November 2014.

Meskipun tidak tepat, tetapi ia saya rasa perlu untuk diungkapkan karena bagaimana pun keduanya pejabat publik dan saya tidak menceritakan hal-hal yang bersifat ''off the record'' alias yang sangat-sangat rahasia. Tapi rasanya sepanjang mengikuti kedua pertemuan tersebut rasanya tidak ada materi yang rahasia, karena ucapan Pak Jokowi maupun Pak Boediono diliput awak media istana.

Jokowi maupun Boediono sama-sama mengangkat topik revolusi. Ini menarik sekali. Indonesia dewasa ini sedang demam istilah revolusi, atau yang lebih tepatnya istilah revolusi mental. Revolusi mental yang tadinya merupakan jargon kampanye Pak Jokowi dan Pak JK sekarang sudah menjadi ruh bagi pembangunan Indonesia ke depan. Ini sebuah keniscayaan politik berdemokrasi dimana pun negara itu berada.

Bagi Indonesia istilah revolusi bukan barang baru. Di masa awal kemerdekaan Presiden Soekarno sudah menggaungkan istilah revolusi Indonesia, yakni setrum yang luar biasa bagi menyemangati rakyat Indonesia untuk mencapai cita-citanya. Sebuah kendaraan besar yang akan membawa bangsa kepada kesejahteraan yang diidam-idamkan para pendiri negara.

Revolusi kita bukan sekadar mengusir pemerintahan Belanda dari Indonesia. Revolusi kita lebih jauh lagi daripada itu, revolusi yang mendatangkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian kutipan pidato Presiden Soekarno, 17 Agustus 1964.

Pak Jokowi juga punya istilah revolusi, namanya Revolusi Mental. Lama saya mencari penjelasan yang konkrit tentang istilah jargon tersebut terutama semasa pemilihan presiden masih berlangsung. Tetapi jawaban yang disampaikan oleh timses Jokowi-JK pada waktu itu rasanya belum memenuhi batasan revolusi yang saya pahami. Saat itu revolusi mental dimaknai sebagai perubahan karakter bangsa Indonesia dari yang ''buruk'' sekarang menjadi keadaan yang lebih baik. Tetapi prosesnya tidak harus cepat dan tidak pula harus masif yang berbondong-bondongan bergeraknya. Hemm..

Padahal kita semua tahu bahwa makna revolusi itu tidak sesederhana itu. Revolusi adalah perubahan besar-besaran dari suatu kelompok masyarakat atau bangsa untuk mengganti keadaan sosial politik yang ada pada saat itu dengan keadaan yang lebih baik. Ia dilaksanakan secara luar biasa, masif, cenderung menggunakan kekerasan bahkan sampai timbul korban dibuatnya.

Menurut Boediono, revolusi bukan sekadar kata-kata perubahan. Ia merupakan perubahan peradaban yang berlangsung besar-besaran dan memakan waktu yang lama. Kita bisa melihat bagaimana proses berjalannya Revolusi Prancis (1789-1804), atau juga kerasnya Revolusi Amerika (1776). Itu sesuatu yang luar biasa dan mengubah pandangan dunia pada masanya.

Ada juga dengan revolusi industri selama seratus tahun 1750-1850, dimana terjadi perubahan besar-besaran dalam bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi dan teknologi yang memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi dan budaya di dunia. Revolusi Industri dimulai dari Britania Raya kemudia menyebar ke seluruh eropa barat, Amerika Utara, dan kawasan-kawasan asia hingga seluruh dunia.

Terus revolusi mental bagaimana? Apa sudah sedemikian buruk keadaan mental bangsa Indonesia saat ini sehingga perlu dilakukan perubahan. Kalau hanya untuk mengubah ke arah yang lebih bagus, atau hendak memperbaikinya, rasanya itu belum sekelas “revolusi”. Masih ada istilah revitalisasi, reaktualisasi, restrukturisasi, atau juga reformasi.

Di dalam istana negara yang dingin dan angker saya menunggu penjelasan Presiden Jokowi tentang itu. Tunggu-tunggu punya tunggu sampai pemaparan berakhir saya tidak mendengar istilah revolusi mental dari Pak Jokowi. Jokowi justru mengatakan istilah baru lagi, yakni revolusi mindset atau revolusi pola pikir.

Apa pula itu revolusi mindset? Kata Jokowi, revolusi mindset adalah mengubah pola pikir bangsa Indonesia dalam memandang masalah internalnya dan mengaitkan dengan lingkungan eksternal untuk kepentingan internalnya tersebut. Penanaman modal asing jangan ditakuti, ia menjadi keniscayaan pada masa globalisasi sekarang ini. Dia mencontohkan negara Tiongkok sebagai negara yang dari bukan apa-apa menjadi negara terkuat di dunia yang sudah dikhawatirkan negara-negara adi daya.

Tiongkok itu, kata Jokowi tidak pernah takut dengan investasi asing. Mereka mengubah mindset bangsanya dari bangsa yang tertutup menjadi bangsa yang sangat terbuka dalam hal ekonomi perdagangan. Indonesia akan meniru itu, dimana foreign direct investment atau penanaman modal asing merupakan salah satu sumber dana bagi pembangunan, dan itu sangat menguntungkan bagi negara kita.

Untuk itu pemerintah harus memperbaiki sistem perizinan bagi pengusaha asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia. Mengurus izin itu tidak perlu sampai lima atau enam tahun, itu luar biasa lamanya. Harus bisa dalam waktu yang sangat singkat, yang hanya dalam hitungan hari. Indonesia harus melaksanakan revolusi birokrasi.

Hah, revolusi birokrasi? Istilah baru lagi..

Baiklah saya berpikir positif saja, bahwa revolusi mindset ataupun revolusi birokrasi adalah bagian dari perubahan bangsa Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Atau bisa juga keduanya turunan dari revolusi mental yang sudah lebih dulu diperkenalkan.

Cuma pertanyaannya kenapa pakai istilah revolusi lagi Pak Jokowi? Apa mayoritas pola pikir bangsa ini sudah tidak bagus lagi, atau juga sistem birokrasi yang sedang dijalankan juga tidak sesuai dengan konteks Indonesia yang diharapkan. Kalau cuma sebagian kecil saja yang perlu diperbaiki, misalnya dalam persoalan perizinan –itu pun bisa dilihat dari subsistem lagi, atau hanya kasuistis -- sebaiknya tidak harus pakai istilah revolusi. Sedangkan revolusi mental saja belum duduk,ini pula ada revolusi mindset, revolusi birokrasi, dan mungkin revolusi-revolusi yang lain.

Sebenarnya saya menyimpan pengertian revolusi mental yang pernah diungkapkan Jokowi pada sebuah pertemuan tanggal 17 Oktober 2014 di Jakarta. Ketika itu dia mengatakan bahwa saat ini telah terjadi perubahan karakter bangsa Indonesia dari yang tadinya santun, berbudi pekerti, ramah dan bergotong royong sekarang sudah menjadi sebaliknya. Yang ada sekarang tidak lagi watak orisinilnya bangsa Indonesia.

"Tapi saya juga ndak tahu kenapa, sedikit demi sedikit (karakter) itu berubah dan kita ndak sadar. Yang lebih parah lagi ndak ada yang nge-rem. Yang seperti itulah yang merusak mental," ujar Jokowi waktu itu.

Perubahan karakter bangsa tersebut, kata Jokowi, merupakan akar dari munculnya korupsi, kolusi, nepotisme, etos kerja tidak baik, bobroknya birokrasi, hingga ketidaksiplinan. Kondisi itu dibiarkan selama bertahun-tahun dan pada akhirnya hadir di setiap sendi bangsa. "Oleh sebab itu, saya menawarkan ada sebuah revolusi mental," ujar Jokowi.

Baik sampai disitu saya paham apa maksudnya. Tetapi kenapa harus memakai istilah revolusi. Kenapa tidak revitalisasi saja. Revitalisasi adalah proses atau perbuatan untuk menghidupkan kembali segala sesuatu yang sudah tenggelam menjadi muncul ke permukaan sebagai sesuatu yang penting atau sangat perlu.

Atau bisa juga reaktualisasi. Reaktualisasi adalah mengaktualisasikan kembali, penyegaran, pembaruan terhadap nilai-nilai masyarakat. Proses reaktualisasi bisa dipengaruhi oleh lingkungan strategis suatu objek, misalnya pengaruh dari masyarakat regional maupun nilai-nilai yang dibawa oleh globalisasi.

Atau bisa juga reformasi. Ah, kalau istilah ini saya tidak rekomendasikan. Reformasi bukan istilah yang seksi untuk saat ini. Apalagi sebagai jargon politik. (bersambung)

Eka PN adalah Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Riau dan peserta Lemhanas angkatan 51 dari Riau.