MEDAN, GORIAU.COM - Buruknya kesejahteraan masyarakat merupakan potensi berkembangnya paham radikal di Indonesia. Bila ingin menangkal meluasnya paham radikal, maka pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

Demikian kesimpulan diskusi "Mengeliminir Pengaruh ISIS dan Radikalisme, Apa yang Harus Diperbuat", yang digelar Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sumatera Utara (USU) Medan bekerja sama dengan Forum Diskusi Publik, di Kampus FIB USU Medan, Kamis (23/4).

Sebagai pembicara pada diskusi tersebut adalah: Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Islam Riau (UIR) Dr H Ahmad Tarmizi Yusa, pengamat sosial keagamaan dari USU Medan Dr Pujiati, pengamat sosial politik dari USU Medan Wara Sinuhaji, Pemimpin Redaksi GoRiau.com Hasan Basril dan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Utara Sugiatmo.

Tarmizi Yusa mengingatakan, rakyat yang hidup dalam kesulitan ekonomi, rawan disusupi paham radikal bila diming-imingi dengan keuntungan finansial. "Apa lagi kalau iming-iming keuntungan finansial itu dibumbui pula dengan kewajiban berjihad membela agama Allah," kata Tarmizi.

Menurut Tarmizi, rakyat yang merasa sudah tercukupi kebutuhan hidupnya tidak akan mudah dipengaruhi untuk mendukung ISIS (International State Iraq and Syrian). "Mereka yang bergabung dengan ISIS itu kita duga tergiur janji dari perekrut, bahwa ada gaji bulanan cukup besar yang akan mereka terima," ujarnya.

Ditambahkannya, pemerintah tak perlu khawatir umat Islam akan menghancurkan Indonesia. "Indonesia bisa merdeka karena perjuangan umat Islam, sehingga tidak mungkin mereka punya niat menghancurkannya. Jadi sangat berlebih-lebihan bila pemerintah mencurigai umat Islam akan meruntuhkan Indonesia dengan mendukung gerakan ISIS," sambung pengamat kebijakan publik tersebut.

Sementara Pujiati menduga ISIS merupakan skenario Amerika Serikat untuk menjatuhkan citra umat Islam dan menghancurkan negara-negara Islam, terutama Irak dan Syria. "Perpecahan di kalangan umat Islam dimanfaatkan Amerika untuk menghancurkan Irak dan Syria. Amerika diduga juga memanfaatkan konflik di negara-negara Islam sebagai ajang menguji kecanggihan teknologi senjata yang dibuatnya, sekaligus menjaga agar bisnis persenjataannya terus eksis," jelasnya.

Wara Sinuhaji berpendapat, isu ISIS tak perlu ditakuti, sebab ISIS itu tak ada apa-apanya bagi Indonesia. Menurut Wara, yang membuat ISIS itu menjadi terkesan sangat membahayakan bangsa adalah pemberitaan media yang berlebih-lebihan. "Kekerasan yang dilakukan oknum institusi negara dan organisasi kemasyarakatan tertentu terhadap masyarakat lebih nyata bahayanya, namun anehnya justru terkesan dibiarkan," ujarnya.

Wara menegaskan, pihak mana pun tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain melalui cara-cara kekerasan. "Negara ini adalah negara hukum, karena itu bila merasa ada pihak yang merugikan kepentingan masyarakat, maka jangan diselesaikan dengan kekerasan, tapi selesaikanlah dengan dialog atau menempuh jalur hukum," sarannya.

Ditambahkan Wara, orang boleh saja berpikir radikal dalam merespons suatu masalah, namun jangan sampai melakukan tindakan kekerasan. "Berpikir radikal boleh, tapi bertindak radikal jangan," tegasnya.

Sedangkan Hasan Basril mengingatkan para jurnalis agar berhati-hati supaya tidak terseret mendukung penyebaran paham radikal. "Ketaatan terhadap Kode Etik Jurnalistik bisa mencegah jurnalis menyebarkan paham radikal," kata Majelis Etik Aliansi Jurnalis (AJI) Pekanbaru tersebut.

Hasan menegaskan, jurnalis harus disiplin menjaga kesetiaannya terhadap kebenaran. Menurutnya, terkait informasi, kebenaran memiliki dua makna, yakni benar kejadiannya atau ada peristiwanya atau benar-benar terjadi dan benar dari sisi nilai-nilai agama dan moral.

"Kalau peristiwanya tidak ada, berarti tidak benar kejadiannya atau fiktif, sehingga tidak perlu diinformasikan ke publik. Kemudian, kalau pun peristiwanya ada, namun tidak benar atau buruk dari sisi nilai-nilai agama dan moral, juga tidak perlu diberitakan," terangnya.

"Informasi yang yang disebarluaskan media massa harus mencerahkan publik, jangan sebaliknya, justru malah menyesatkan," sambung staf pengajar jurnalistik di sejumlah perguruan tinggi di Pekanbaru ini.

Sedangkan Sugiatmo menegaskan, pers memiliki tanggung sosial, karena itu wartawan harus selektif dalam menulis berita. "Kebebasan pers dibatasi oleh tanggung jawab sosial atau tanggung jawab melindungi kepentingan masyarakat," ujarnya.

Ketua Departemen ilmu Sejarah FIB USU Edi Sumarno dan Ketua Pelaksana Diskusi SP Dewi Murni, dalam sambutannya berterima kasih kepada Forum Diskusi Publik yang telah menawarkan kerja sama menggelar diskusi tersebut. Edi Sumarno dan Dewi juga berterima kasih kepada para narasumber yang telah hadir memenuhi undangan panitia.rls