BEDA pemimpin, beda gaya. Begitulah paling tidak suasana di Istana Kepresidenan yang sekarang diisi oleh Presiden Joko Widodo. Namun kini, warna sangat berbeda ditunjukkan istana selama kepemimpinan Jokowi - JK. Dan hal itu tergambar dari tulisan yang dikirimkan Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Riau, Eka PN yang berkesempatan berkunjung ke Istana Presiden, Selasa (18/11/2014) malam.

Bagaimana ''motif komunikasi massa'' di Istana Jokowi? Berikut laporan perjalanan yang ditulis Eka PN yang merupakan peserta Lemhanas angkatan 51 dari Riau, yang ditulis bersambung mulai hari ini.

BERTEMU langsung dengan Jokowi bukan kali yang pertama buat saya. Pertama kali saya bertemu beliau saat kunjungan Jokowi di Riau dalam sebuah acara partai, Maret lalu, sebelum pemilihan legislatif 2014. Jokowi oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah ikon partai yang sering berkeliling nusantara untuk mendongkrak suara partai sekaligus persiapan pilpres 2014. Jokowi menjadi magnet yang ramah, jangankan foto berkelompok, berfoto selfie saja dia layani. Saya mau ikut, tapi terlalu panjang antrinya, dan akhirnya tak jadi.

Itu dulu semasa Jokowi belum menjadi presiden. Pertemuan kedua saya terjadi Selasa, 18 November 2014 kemarin, di Istana Negara Jakarta. Pada pertemuan tersebut suasananya lebih formal, saya bersama para peserta Lemhannas angkatan 51 dan 52, berkesempatan memaparkan ekstraksi seminar di hadapan presiden, sekaligus mendapat pembekalan dari presiden sebelum kembali ke daerah masing-masing.

Pertemuan kedua ini merupakan kesempatan paling mahal buat saya. Pertama, bertemu dengan Presiden Republik Indonesia, masuk ke dalam istana, merasakan suasana formil yang super ketat, lalu bertatap muka dengan presiden, bersalaman, berfoto, pastilah sesuatu yang sangat berarti. Yang kedua, kesempatan ini menjadi mahal karena saya dapat mendengar langsung pidato atau ceramah Presiden Jokowi tentang ke-Indonesia-an tanpa perantara media massa. Utuh tanpa editing, bisa melihat setiap gestur tubuh Jokowi, dan suasana pertemuan yang tercipta.

Jokowi muncul dengan baju batik coklat, dan kami semua juga pakai baju batik meski tidak semuanya coklat. Tidak ada arahan untuk pakai baju batik coklat, hanya baju batik saja. Tidak seperti arahannya Setneg kepada para menteri yang akan menghadiri pelantikan kabinet yang menyebutkan batik coklat. Tentu saja waktu berfoto bersama terlihat ramai, penuh warna-warni.

Ini berbeda suasana ke Istana Wakil Presiden RI. Sebelumnya Jokowi jadi presiden, kami peserta PPRA (Program Pendidikan Angkatan Reguler) 51 sudah terlebih dahulu menghadap wapres untuk mendapatkan pembekalan. Waktu itu wakil presidennya masih Pak Profesor Boediono. Kostum yang harus dikenakan adalah baju kemeja putih, celana kain warna hitam, dan dasi warna merah atau warna yang mendekati merah. Benar-benar seragam, yang saat berfoto bersama semua sepertinya mirip.

Soal kostum saya pikir ini tidaklah masalah, hanya masalah teknis belaka. Bagian dari selera pemimpin, dimana pihak protokoler dapat menyesuaikan keinginan pemimpin atau style yang sedang dipakai. Meskipun pada sisi lain berpakaian memiliki hubungan erat dengan kepribadian maupun sebagai simbol status seseorang atau sekelompok orang. Juga dapat memberikan kesan tentang bagaimana kualitas formalitas sebuah pertemuan yang tengah dilaksanakan.

Sekali lagi, bagi saya itu bukan persoalan, biarlah dan saya tidak akan memberikan pandangan tentang makna-makna simbolik di sana. Yang hendak saya ceritakan disini adalah tentang komunikasi verbal ala Jokowi: cara dan gaya dia berucap, serta konten pidatonya.

Jujur Jokowi bukan orator. Jangankan sama presiden Indonesia sebelumnya, dengan para menteri yang dipilihnya saja belum tentu Jokowi bisa juara. Apatah lagi dengan para motivator nasional yang mampu mengangkat semangat anak bangsa Indonesia, menjadi penguat kebaikan, bahkan memperkokoh nasionalisme.

Cara berucapnya datar-datar saja, tidak suka memakai kata-kata simbolik, mengutip filsafat. Kalau tidak mau disebut bahasa pasar, mungkin lebih enak menyebutnya bahasa Jokowi adalah bahasa rakyat kebanyakan. Sederhana, ringan, santai, dan senang guyon. Hampir tak ada bedanya mendengar pidato Jokowi di depan ribuan rakyat di lapangan dengan pidatonya dihadapan peserta Lemhannas di dalam istana negara. Bagi Jokowi, yang penting pesannya sampai dengan utuh. Audiens tidak perlu memikirkan makna disebalik diksi yang diucapkannya, karena tujuannya memang bukan itu. (bersambung)

Penulis adalah Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Riau