JAKARTA, GORIAU.COM- Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia mengungkapkan sejumlah industri  mengabaikan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai acuan pembelian produk meskipun SVLK dinilai mendapat apresiasi tinggi secara global.



Wakil Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) Rusli Tan di Jakarta, mengatakan, konsumen lebih memilih menggunakan skema sertifikasi yang dikembangkan oleh organisasi asing  kehutanan sebagai acuan pembelian produk .

"Ada BUMN besar, ada juga produsen kebutuhan rumah tangga raksasa yang tak mau menggunakan produk yang telah dilengkapi SVLK. Mereka hanya mau menggunakan produk yang memiliki sertifikat dari pihak asing," katanya.

Menurut dia, hal itu adalah sebuah sikap tidak menghormati SVLK, yang sebenarnya telah dikembangkan secara multipihak, transparan dan akuntabel.

"Pemerintah seharusnya memaksa industri konsumen di tanah air menjadikan SVLK sebagai satu-satunya acuan pembelian produk kehutanan. Kalau mereka tidak mau, itu melecehkan SVLK," kata Rusli.

Ia mengatakan sikap industri dalam negeri tersebut secara langsung berdampak dengan terus membanjirnya produk impor, misalnya produk kertas volume terus meningkat beberapa tahun belakangan.

"Indonesia sangat prospektif menjadi produsen kertas terkemuka di dunia berkat keunggulan komparatif hutan tanaman industri dan pasar domestik yang besar. Namun, industri kertas dengan sertifikat SVLK menghadapi tantangan berat karena konsumen domestik justru lebih senang membeli produk impor dengan sertifikat asing," ujarnya.

Industri bubur kertas (pulp) dan kertas prospektif karena bahan baku didapat dari hutan tanaman yang menghasilkan pohon berusia 5 tahun Petinggi 30 meter. Iklim tropis membuat pohon bahan baku bubur kertas tumbuh enam kali lebih cepat daripada negara empat musim seperti di Skandinavia yang merajai industri pulp global.

"Pemerintah harus bersikap agar industri domestik mendukung produk bersertifikat SVLK dengan mengonsumsinya, bukan malah membiarkan mereka mengabaikan SVLK," ujarnya.

Sikap konsumen domestik tersebut secara tidak langsung dapat memengaruhi upaya pemerintah mengoptimalkan prospek hilirisasi industri kehutanan, terutama yang berbasis hutan tanaman.

Tahun 2010 volume impor kertas sebesar 22.166 ton, kemudian naik menjadi 33.456 ton pada 2011, lalu 51.368 ton pada 2012 dan 73.869 ton pada 2013. Produk impor makin tak terbendung karena tak ada hambatan dagang untuk masuk ke Indonesia, tambahnya, terlebih lagi saat ini bea masuk produk kertas hanya 0 persen.

Produk impor juga bebas dari kewajiban memiliki sertifikat SVLK, di saat produk dalam negeri justru dibebani kewajiban tersebut. Rusli pun mendesak pemerintah untuk segera memberikan perlakuan setara dan memberlakukan kewajiban SVLK bagi produk impor.



Terapkan Standar HCVF
Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin menegaskan pihaknya selain tunduk dengan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu), produsen bubur kayu dan kertas nasional secara sukarela menerapkan standar pengelolaan hutan lestari yang tinggi.

RAPP menerapkan kajian hutan bernilai konservasi tinggi (HCV) sejak 2005 untuk memastikan area dengan kategori tersebut dipertahankan. Sampai saat ini, telah ada 36 kajian HCV yang dilakukan RAPP.

"Ini memastikan bahan baku kayu yang dimanfaatkan bukan hanya legal tapi juga berkelanjutan," kata Kusnan.

Kusnan menambahkan, pihaknya memberlakukan moratorium pembangungan hutan tanaman industri (HTI) pada areal konsesi yang belum dilakukan kajian HCV. Untuk konsesi yang berada di lahan gambut, pihaknya menerapkan teknologi pengelolaan tinggi muka air, ekohidro yang mampu menjaga gambut tetap lembab sehingga mencegah subsidensi dan menutup peluang munculnya api.

Hasilnya, RAPP berhasil mengelola HTI gambut secara berkelanjutan selama 20 tahun.

"Untuk itu kami menanam sedikitnya 150 juta pohon atau setara dengan 96.000 hektare per tahun," ujarnya.

RAPP merupakan bagian dari grup APRIL (Asia Pacific Resources International Limited) memiliki kapasitas pulp 2,8 juta ton per tahun dan kapasitas kertas 820.000 per tahun.(rls)