JAKARTA, GORIAU.COM - Jelang berakhirnya Inpres No 10 tahun 2011 tentang Penundaan (moratorium) pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, Mei 2013, berbagai kalangan menyoroti keberadaan LSM asing World Wide Fund for Nature (WWF).

Mereka meminta pemerintah mengevaluasi keberadaan WWF yang dinilai hanya memperparah kerusakan hutan.

Saatnya pemerintah mengevaluasi dan menghentikan kerja sama dengan WWF. Kehadiran mereka di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Riau tidak ada manfaatnya, justru malah memperparah kerusakan hutan di sana.

"Keuangan mereka juga wajib diaudit publik. Harus ada pertanggungjawaban. Tidak boleh dibiarkan. Mereka menjual isu lingkungan hanya untuk mencari dana, sementara kinerja mereka di Taman Nasional Tesso Riau amburadul. Jangan sampai mereka diberi peluang menggarap proyek lainnya,” kata Wakil Ketua Komisi IV Firman Soebagyo, Kamis (25/4/2013).

Anggota DPR Fraksi Partai Golkar itu menambahkan, jika diperlukan audit juga harus dilakukan terhadap para elite WWF yang bertanggung jawab terhadap proyek konservasi lingkungan yang menggunakan dana pemerintah.

‘’Siapa otak di balik mangkraknya proyek WWF di TN Tesso Nilo juga harus diusut,’’ tegasnya.

Menurut Firman, pentingnya audit keuangan dan kinerja terhadap LSM asing WWF, sebenarnya sudah diatur dalam RUU Ormas. Karena itu, UU Ormas sangat diperlukan guna menjaga kedaulatan dan keutuhan Indonesia dari campur-tangan LSM asing seperti WWF.

''Siapa bilang UU Ormas mengekang kebebasan? Kebebasan yang seperti apa? Apakah sebagai negara berdaulat Indonesia harus telanjang bulat di depan dunia? Jangan samakan Indonesia dengan negara di Amerika dan Eropa yang wilayahnya kecil. Itu tidak mungkin. Indonesia itu luas dan menyebar sehingga perlu diawasi,'' tegas Firman

Firman mengatakan, saatnya pemerintah menghentikan semua kerja sama dengan WWF. “Proyek di Tesso Nilo jelas gagal. Kalau pemerintah masih memercayakan proyek lainnya kepada WWF, DPR akan menolak. Kami akan segera memanggil pemerintah untuk menjelaskan ini,” tandasnya.

Sejak 2009, berdasarkan SK No 663/Menhut-II/2009, TNTN dikelola secara kolaboratif bersama LSM asing WWF yang memiliki kantor pusat di Jenewa, Swiss itu. Saat itu luas TNTN mencapai 83.068 hektare dengan memasukkan areal hutan produksi terbatas yang berada di sisinya.

Namun berdasarkan analisis Citra Landsat, saat ini luas hutan alam TNTN hilang hingga 64%. Sedangkan pada areal perluasan, hutan alam yang hancur telah mencapai 83 persen. ***