PEKANBARU - Riset yang dilakukan Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Indonesia terhadap peta ekonomi di Pekanbaru cenderung stagnan. Hal ini memberi pengaruh pada posisi politik menjelang Pemilihan Walikota 2017. Masyarakat menilai pemerintahan saat ini tidak serius untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Direktur Kajian Ekonomi Puspol Indonesia Kusfiardi Sutan Majo Endah mengatakan, dari riset yang dilakukan pihaknya kondisi ekonomi di Pekanbaru cenderung tidak berubah. Sebesar 52,09 persen responden mengeluarkan biaya bulanan pada kisaran Rp1,5 juta sampai Rp3 juta.

"Sementara angka kualitatif di sejumlah pasar ditemukan omset para pedagang menurun antara 20-30 persen. Ada diantara pedagang yang biasa mendapatkan omset Rp700 ribu, namun pada bulan Maret 2016 hanya Rp200 ribu perhari," kata Kusfiardi pada pemaparan peta sosial, ekonomi dan politik menjelang Pilwako Pekanbaru 2017, Senin (2/5/2016).

Riset juga mencatat inflasi Provinsi Riau pada Maret lalu mencapai angka 0,47 persen dengan indek harga konsumen (IHK) 123,64 persen.

"Sementara inflasi tahun kalender Januari-Maret 2016 sebesar 0,45 persen. Sedangkan inflasi yeaer to year sebesar 4,42 persen. Dari tiga kota IHK di Riau, inflasi tertinggi dialami Kota Pekanbaru sebesar 0,54 persen," lanjut.

Jumlah angka kemiskinan di Pekanbaru konstan, karena tidak ada upaya pemerintah dalam melakukan pengurangan angka masyarakat miskin. Akibatnya masyarakat beranggapan pemerintah saat ini belum mampu melakukan upaya lebih baik dari pemerintah sebelumnya.

"Saya rasa pemerintah harus berhenti membanggakan wajib belajar 12 tahun untuk pencitraan politik. Justru harus meng-upgrade tamatan-tamatan SMA untuk mendapatkan lapangan kerja yang layak," ujar Kusfiardi.

Karena tidak bergeraknya sektor ekonomi, punya peranan besar responden menginginkan kedepan dipimpin oleh wajah baru yang mengerti dan mampu menjawab tantangan kota Pekanbaru sebagai kota perdagangan dan investasi.***