PEKANBARU, GORIAU.COM - Dualisme kewenangan pemberian izin atau hak atas tanah atau lahan antara Kementerian Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional menjadi salah satu hambatan dalam menyelesaikan konflik sumber daya alam (SDA). Hambatan lainnya adalah faktor belum diakuinya hak ulayat secara nyata dalam hukum positif di Indonesia.

Demikian dikatakan Direktur Scale Up, Harry Oktavian, salah satu pemateri pada Workshop Geojurnalisme yang ditaja The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), belum lama ini. "Dalam perjalanan Scale Up sebagai lembaga yang fokus pada resolusi konflkik SDA di beberapa daerah di Sumatera, sering menemui hambatan dalam penyelesaÍan konflik. Diantaranya karena adanya dualisme kewenangan dalam memberikan hak atas tanah," kata Harry.

Selain itu, lanjut Harry, lembaga ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang membantu penyelesaian konflik melalui konsensus, masih belum mendapat legitimasi kuat dari pemerintah daerah.

Prasyarat dalam menyelesaikan konflik, tambah Harry, diantaranya tersedia peta tanah adat atau ulayat yang bisa jadi pedoman penyelesaian konflik tenurial. Lalu ada kepastian pemangku kewenangan pertanahan dan kehutanan, penghentian sementara operasi perusahaan yang masih berkonflik dengan masyarakat. "Adanya pengakuan dan pengembangan peran kelembagaan ADR di luar pemerintah," tandas Harry.(wdu)