BAGANSIAPIAPI, GORIAU.COM - Mungkin banyak orang tidak mengetahui kalau gedung sekolah Yayasan Setia Budi, Jalan Merdeka Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir yang sekarang berdiri megah berlantai 3 itu, dulunya hanyalah tempat orang duduk mengopi sambil membaca koran.

''Dulunya disini hanya tempat orang bersantai untuk membaca koran sambil minum kopi atau disebut Min Tik Che Pho Sia,'' kata ketua panitia purna pugar Yayasan Setia Budi, Siswaja Muljadi kepada GoRiau.com, Jumat (3/7/2015).

Pria yang sekarang menjabat anggota DPRD Provinsi Riau yang akrab disapa Ah Seng itu menceritakan, perjalanan panjang sekolah itu sebelum diresmikan hingga saat ini. Pada tahun 1921, bangunan itu hanyalah ruang perpustakaan, tempat orang membaca koran sambil minum kopi.

Tidak beberapa lama setelah beberapa pemuka masyarakat Tionghoa pada waktu itu berpikir ingin mendirikan sekolah, maka pada tahun 1923, perpustakaan tersebut pun berubah fungsi menjadi tempat belajar mengajar atau lebih dikenal waktu itu disebut orang ''Min Tik''.

Kebetulan, pada masa itu, berdiri juga sekolah yang sama bernama ''King Cun''. Maka, atas inisiatif pemuka masyarakat dari kalangan Tionghoa, pada tahun 1938 sekolah ''Min Tik'' dan ''King Cun'' digabung menjadi satu dinamakan ''Tionghoa Kong O''.

https://www.goriau.com/assets/imgbank/03072015/setia2jpg-2680.jpgGedung sekolah yayasan Setia Budi setelah diresmikan oleh pengurus dan donatur yayasan.Selama sekolah itu berdiri, sempat terjadi pasang surut hubungan diantara masyarakat Tionghoa dengan pemerintah setempat. Tambahan lagi, pergolakan politik sangat tidak kondusif terutama pada puncak peristiwa G 30 S PKI. Imbasnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan agar sekolah Tionghoa di Bagansiapiapi harus ditutup.

''Makanya, sekolah ini pernah tutup. Namun pada tahun 1960, pemerintah mengizinkan kembali membuka sekolah ini namun sudah berganti dengan sekolah nasional,'' terang Ah Seng.

Dia mengisahkan, rentang waktu antara tahun 1960 sampai 1970, sekolah ini juga pernah dijadikan sebagai tempat mess polisi. Kebetulan, waktu itu sekolah ini belum ada aktifitas belajar mengajar. Namun setelah situasi politik membaik, para tokoh masyarakat berembuk bagaimana caranya agar sekolah ini dibuka lagi.

Pada tahun 1970, sekolah ini resmi berdiri dan mereka sepakat menamakannya Yayasan Setia Budi. Pada waktu yang sama, juga sudah ada Yayasan Perguruan Wahidin. Sempat ada pemikiran dari para prakarsa pendiri yayasan ini bagaimana jika Wahidin dan Setia Budi disatukan. Akhirnya pengurus yayasan mengambil kata sepakat agar Wahidin dijadikan pusatnya dan Setia Budi dijadikan cabang,

https://www.goriau.com/assets/imgbank/03072015/setia3jpg-2679.jpgKondisi sekolah Setia Budi yang dulu hanyalah tempat perpustakaan bagi warga yang membaca koran sambil minum kopi.Rentang waktu tahun 1970 hingga 2012, perjalanan sekolah ini terlihat biasa-biasa saja. Tidak ada sentuhan dari para donatur untuk membangun sekolah ini. Parahnya lagi, iuran pembangunan sekolah dari siswa sebesar Rp100 ribu yang terkumpul dari 400 siswa, tak bisa menutupi kekurangan sekolah ini.

''Kondisi sekolah ini kala itu sangat memprihatinkan. Apalagi sekolah ini tidak diperhatikan oleh masyarakat dan tidak ditunjang oleh donatur yayasan yang kuat sehingga sulit untuk berkembang,'' ujar Ah Seng.

Dikatakannya, konstruksi bangunan sekolah Setia Budi sudah sangat jelek, dinding papan lapuk dimakan rayap, tiang penyangga sudah banyak yang rusak. Apalagi kalau terjadi hujan, di sana sini banyak mengalami bocor. Kesejahteraan gurunya pun sangat memprihatinkan.

Melihat kondisi ini, akhirnya Ah Seng dipanggil pihak yayasan dengan memberikannya wewenang menjadi ketua panitia renovasi Yayasan Setia Budi. Setelah terbentuk, para panitia pun mulai menggalang dana dari para donatur.

Alhasil, uang pun terkumpul sebanyak Rp1 miliar. Namun dari uang sebanyak itu, tidak lah cukup untuk membangun ruang kelas. Karena banyak ruangan yang harus diperbaiki. selain dalam bentuk uang, ada juga donatur yang memberikan bantuan dalam bentuk bahan bangunan.

''Saya terpanggil untuk melakukan ini. Ini merupakan tanggung jawab untuk mengembalikan sekolah sebagaimana layaknya. Saya merasakan, masa depan sekolah ini tanggung jawab bersama," ujarnya.

Untuk mengatasi kekurangan itu, panitia pun bertindak cepat. Mereka mencoba menghubungi para alumni Setia Budi yang berada di Jakarta. Respon mereka sangat luar biasa. Panitia mendapat support dari warga Bagansiapiapi yang berada di Jakarta.

Atas kegigihan panitia, akhirnya dana terkumpul sebanyak Rp4,5 miliar. Uang itu pun digunakan untuk membangun sekolah sebanyak tiga tahap. Tahap pertama ada sekitar 7 lokal. Tahap kedua dan ketiga sebanyak 24 Lokal. Selain ruang kelas, fasilitas olahraga untuk bermain badminton juga dibangun. Bangunan pun sudah 3 lantai.

''Kita juga membangun hall sebagai tempat pertemuan antara guru dan orang tua murid. Masyarakat juga bisa menggunakan ruangan itu,'' tutur Ah Seng.

Dari sekian banyak donatur yang menyalurkan bantuan, kata Ah Seng, dirinya sangat memberikan apresiasi kepada salah seorang donatur terbesar yakni Gui Yau Khun. Walau sudah berumur 80 tahun, dia rela merogoh kantongnya sebanyak Rp1,6 miliar.

Akhirnya, setelah sekolah yayasan Setia Budi diresmikan. Seluruh siswa dan guru sudah bisa tersenyum. Karena mereka tidak lagi disibukkan dengan atap bocor, lantai dan dinding yang berlobang serta masalah lainnya. Karena dibelakang mereka, sudah ada pengurus yayasan yang mau bertungkus lumus untuk memajukan dan mengembangkan masa depan pendidikan yayasan Setia Budi. (amr)