PEKANBARU - Provinsi Riau yang berjuluk Bumi Lancang Kuning memang memiliki segudang ragam budaya yang patut untuk dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Dari sekian banyak budaya, salahsatunya ialah ritual Sema Rantau yang menjadi agenda tahunan di Desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar.

Mengapa dinamakan Sema Rantau, ternyata ada makna khusus dibalik penamaan ritual itu. Menurut Datuok Pucuk tetua adat di Desa Tanjung Beringin tersebut, Sema Rantau artinya membersihkan/mengobati.

Tradisi ini merupakan ritual untuk membersihkan diri dari segala dosa yang dilakukan warga desa, baik yang sengaja maupun tidak disengaja dilakukan. Biasanya, Sema Rantau akan dilakukan ketika terjadi suatu musibah di kampung, seperti halnya gagal panen padi karena diserang hama ataupun ketika salahseorang warga tempatan menjadi korban mangsa raja sungai maupun raja hutan.

Selain itu, Sema Rantau juga dilaksanakan sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan semesta yang telah memberi rahmat air dan ikan yang berlimpah.

Uniknya, Sema Rantau dilakukan dengan memotong kerbau lalu diambil kepala, hati dan bagian jantung. Pembagiannya, hati dan jantung diantar ke makam Datuok Page yang bergelar Datuk Harimau. Kepala kerbaunya dibuang ke dasar sungai dan sisa dagingnya dibagi-bagikan ke warga setempat.

Sebelum memulai Sema Rantau, Datuok Pucuk dan warga akan berziarah ke dua makam, yaitu makam Datuok Page dan Datuok Darah Putih. Konon, datuk tersebut berdarah putih, sakti dan dulunya disegani masyarakat.

Selesai berziarah, warga berbondong-bondong menaiki perahu yang biasanya disebut piyau menuju ke hulu sungai yang dinamakan Lubuok. Di tempat tersebut, prosesi terakhir Sema Rantau dilakukan yaitu dengan membuang kepala kerbau ke dalam sungai oleh tetua adat.

Sembari dibacakan doa, kepala kerbau tersebut berangsur masuk ke dalam air. Usai ritual, warga setempat makan bersama di pinggir sungai sekaligus menikmati keindahan alam yang masih asri.

Selain Sema Rantau, warga Desa Tanjung Beringin kerap melakukan mancokau ikan. Dimana, tetua adat akan membacakan doa sebelum melempar jala pertama tanda dimulainya acara adat. Hasil menjala itu akan berlanjut pada acara pelelangan ikan dengan harga yang murah.

Usai mancokau ikan, biasanya dilanjutkan dengan tradisi pacu bagala. Tradisi isi dilestarikan untuk mengingat para raja atau para tetua dulu yang selalu menggunakan perahu dan gala untuk menyusuri sungai ke desa-desa yang berada di daerah pinggiran Sungai Subayang. Dulu, perahu merupakan alat transportasi satu-satunya. ***