DUMAI - Dengan ditandatanganinya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), korban kekerasan seksual dapat melaporkan apa yang dialami kepada penegak hukum.

Tertulis jelas dalam perppu tersebut, sanksi berat bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara. Serta tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.

Menanggapi hal itu Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau (MKA LAMR) Kota Dumai, Datuk Azhar Yazid kepada GoRiau.com, Minggu sore (29/5/2016), bahwa hukuman kebiri kimiawi tidak akan membuat jera pelaku kejahatan seksual.

"Jika diberikan hukuman kebiri kimiawi, pelaku kejahatan seksual tidak akan jera. Malahan bisa semakin menjadi-jadi. Bisa saja kejahatannya nanti akan semakin sadis, karena secara seksual pelaku tidak lagi bisa menyalurkannya. Jadi biar jera dihukum mati," ujarnya.

Ketua Fron Pembela Islam (FPI) Kota Dumai, Azwar Djas menegaskan, penetapan hukum terhadap pelaku kejahatan seksual harus tegas, tidak pakai alternatif. Cukup pelaku kejahatan seksual dan pembunuhan, diberikan hukuman mati. Karena dalam Islam, hukum itu tegas. Dimana zina hukumannya dera dan rajam. Membunuh wajib dibunuh. Apalagi di negara Yaman pemerkosa dihukum mati, dengan cara sadis.

"Kalau hukuman itu pakai alternatif, maka terkesan hukuman itu lemah dan bisa dimainkan oknum tertentu. Padahal tujuan suatu hukuman, pertama membuat warga negara aman, tenteram dan sejahtera. Kedua membuat pelakunya tidak dapat berbuat lagi dan efek jera yang tinggi," tutup Azwar menjelaskan kepada GoRiau.com.***