PEKANBARU - DPRD Riau berenacana melakukan uji materi bahkan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung (MA) terkait Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men-LHK) Nomor 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016.

Surat ini merupakan keputusan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau. Pada salinan SK tersebut lahan yang disahkan oleh Kemen-LHK hanya 1,6 juta hektar dari 2,7 juta hektar yang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Riau.

"Kemarin kami sudah konsultasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, ada ruang untuk DPRD Riau untuk menguji peraturan perundang-undangan yang kami anggap untuk kepentingan daerah," kata Sekretaris Komisi A DPRD Riau, Suhardiman Amby, Rabu (29/6/2016).

Salinan SK yang ditandatangani oleh Menteri LHK Siti Nurbaya tertanggal 20 April 2016, merupakan revisi dari SK 878/Menhut-II/2014 tertanggal 29 September 2014.

Konsultasi ke MA tersebut diikuti sebanyak tujuh orang perwakilan dari masing-masing Daerah Pemilihan (Dapil) yang akan turut serta melakukan gugatan antara lain Suhardiman Amby mewakili Dapil Inhu-Kuansing. Sugianto dari Dapil Siak-Pelalawan, Sulastri Dapil Inhil, Nasril Dapil Kampar.

Kemudian Taufik Arakhman Dapil Pekanbaru, Eddy Mohd. Yatim mewakili Dumai-Meranti-Bengkalis, Rusli Ahmad mewakili Dapil Rokan Hulu. Sedangkan Dapil Rokan Hilir, rencananya juga turut serta Asri Auzar.

"Kami sudah mulai jalan. Surat kami juga sudah sampai ke pimpinan DPRD Riau tentang rencana ini," tuturnya.

Sebelumnya, beberapa anggota DPRD atas nama masyarakat Riau datang berkonsultasi ke MA pada Selasa (28/6/2016). Kemudian pihaknya dalam waktu dekat ini juga akan menguji beberapa perundang-undangan seperti Undang-undang Agraria, Perkebunan dan Perpajakan.

Suhardiman Amby mengatakan, tim ini juga sudah bekerja jelang melakukan gugatan tersebut. Gugatan rencananya didaftarkan setelah Hari Raya Idul Fitri 1437 H ini. Setelah tim selesai melakukan kajian.

Pihaknya menilai ada kepentingan masyarakat Riau yang dizalimi dengan dikeluarkannya SK RTRW, yang luasan dinilai terlalu sedikit, dan tidak mencukupi, sehingga membuat pembangunan di Riau terkendala.

Selanjutnya dalam UU Nomor 41 tahun 1999 disebutkan, bahwa pihak Kementerian LHK hanya bisa menolak atau menerima hasil kajian yang dilakukan oleh pihak tim terpadu, yang dibentuk oleh pihak Kementerian LHK.

"Pihak kementerian tidak bisa menentukan luasan wilayah RTRW, tapi hanya bisa menerima atau menolak. Tim terpadu sudah melakukan kajian, dan hasilnya juga sudah dikeluarkan. Tapi pihak kementerian mengeluarkan SK dengan luasan yang berbeda," imbuhnya.

Dia berharap, dengan adanya gerakan yang dilakukan DPRD Riau tersebut, ada hasil yang diperoleh nantinya, dengan mengembalikan luasan wilayah yang dihitung oleh pihak tim terpadu yang sudah turun sebelumnya.

"Kami tetap akan perioritaskan masyarakat, jadi kami tidak bisa menerima hasil SK 314 itu. Kami akan lakukan lagi gugatan pada MA, PTUN dan Pengadilan Negeri, tapi atas nama pribadi," timpalnya.

Pihaknya juga sudah menyepakati akan melakukan pematerian pada MA, PTUN, dan Pengadilan Negeri untuk menjelaskan lahan yang sisanya 1,1 juta hektar tersebut ilegal. "Insya Allah kami akan tetap berpatokan pada posisi 2,7 juta hektar untuk disahkan," tambahnya lagi.

Kemudian, untuk temuan lahan yang dianggap ilegal sebanyak 1,1 juta hektar tersebut akan dilakukan pengujian pada pengadilan negeri.

"Kami akan lakukan pengujian pada Pengadilan Negeri terkait hasil temuan lahan senilai 1,1 juta hektar. Kami akan lakukan pengujian dengan baik," paparnya.

Hal itu harus dilakukan bersama-bersama, agar mendatangkan hasil maksimal pula. Sehingga pembangunan di Riau tidak ada terkendala lagi kedepan akibat ketidakjelasan RTRW.

Sebelumnya, SK 878/Menhut-II/2014 yang sekarang direvisi menjadi SK RTRW nomor 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 menjelaskan ada sebanyak 104 perusahaan terbukti melakukan alih fungsi lahan.

Alih fungsi itu dilakukan dengan cara mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam penunjukan kawasan hutan pada SK Menteri Kehutanan Nomor 878 tersebut untuk kepentingan 104 koorporasi.

Selanjutnya, praktik kolusi 104 perusahaan tersebut dengan Kementerian Kehutanan telah menghancurkan 77.898 hektar kawasan hutan Riau untuk kepentingan mereka. Akibatnya telah mengorbankan banyak kawasan hutan.

"Kami tak mau ada lagi yang bermain di Riau ini. Karena sangat banyak hak masyarakat yang sudah dirampas oleh oknum yang bermain dengan perusahaan perkebunan tersebut," ujar Suhardiman Amby.

Selain itu, guna menghindari adanya pihak-pihak yang dapat mempengaruhi putusan Menteri Kehutanan dalam penunjukan kawasan hutan yang patut diduga adanya unsur korupsi, suap dan kolusi antara 104 korporasi, Gubernur Riau dan Menteri Kehutanan pada proses penerbitan SK Menhut Nomor 878/Menhut-II/2014.

"Dimana penerbitan SK tersebut tidak berpihak pada kepentingan rakyat Riau sehingga mengusik rasa keadilan masyarakat setempat," ungkapnya.

Ia berharap, untuk itu dalam melakukan addendum SK, dimohonkan agar kawasan seluas 77.898 hektar tersebut untuk dikembalikan ke kawasan hutan dan menggantinya dengan lahan masyarakat atau lahan KKPA.

DPRD Provinsi juga meminta agar Kementerian LHK RI melakukan perubahan terhadap 445 desa yang masih masuk dalam kawasan hutan menjadi menjadi APL (Areal Penggunaan Lain).

Selain itu dalam SK 673/Menhut-II/2014 pusat pemerintahan kabupaten/kota dan beberapa kantor kecamatan masih terdapat 402 desa dan desa tua yag masih berada dalam kawasan hutan.

Diantaranya, Kabupaten Bengkalis 86 desa , Kota Dumai 16 desa, Indragiri Hilir 128 desa, Indragiri Hulu 18 desa, Kampar 25 desa, Kepulauan Meranti 55 desa, Kuantan Singingi 18 desa, Pelalawan 12 desa, Rokan Hilir 14 desa, Rokan Hulu 27 desa dan Siak 3 desa.

Sebelumnya, Menteri LHK sudah mengeluarkan SK 673 pada 2014 lalu dan beberapa bulan setelah itu dikeluarkan SK 878 pada tahun yang sama. Namun apa yang tertuang dalam SK dinilai belum sepenuhnya mengakomodir kepentingan Riau dalam pembangunan. Karena masih banyak areal perkantoran yang masuk kawasan hutan atas dua SK tersebut.

Sementara dalam SK 314 tentang Peta Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan di Provinsi Riau melalui lampiran keputusan Menteri LHK RI tersebut, Pemprov Riau terkesan menyembunyikan isi yang tertuang dalam surat tersebut. Apakah benar-benar sudah mengakomodir pelepasan kawasan hutan sesuai usulan Pemprov Riau atau tidak.

Anggota DPRD Riau Asri Auzar juga mengatakan, Pemprov Riau harusnya secara tegas menolak dan meminta KemenLHK untuk memberikan RTRW dengan luas wilayah yang dibutuhkan oleh Pemprov Riau. Bukan sesuai yang diberikan oleh pemerintah pusat.

"Pemerintah Daerah yang tahu dengan kondisi daerahnya, ketika pemerintah pusat memberikan RTRW yang tak sesuai dengan kebutuhan, harusnya kita menolak. Karena kita yang punya daerah dan yang mengerti kebutuhan," kata Asri Auzar.

Asri membandingkan Riau dengan provinsi lain yang memberikan tanggapan berbeda dengan Riau yang menolak RTRW usai ditetapkan KemenLHK. Seperti Kepulaun Riau dan Kalimantan Tengah.

Jika tidak digugat dengan cepat dan hanya menerima hasil RTRW yang sudah ditetapkan oleh pusat, Asri siap menggugat atas nama pribadi. Menurutnya, hal itu wajib dilakukan sebagai warga Riau yang peduli dengan daerah.

"Saya akan lakukan uji meteri putusan dari Kementerian itu yang sudah mengesahkan RTRW Riau. Saya akan PTUN kan putusan itu karena saya merasa ini tanggung jawab saya jika Pemprov Riau tak tegas menolak RTRW dari pusat," tegas politisi Partai Demokrat ini.

Asri mengatakan, tekadnya sudah bulat menggugat SK Kementerian LHK tersebut. Dirinya juga pernah mempertanyakan ke Pemprov Riau beberapa waktu lalu apakah Pemprov berani menggugat SK tersebut.

"Kan saya tanya ke Pemprov kemaren, sanggup nggak kalian menggugat, kalau nggak biar saya yang PTUN-kan," ujarnya.

Ia mengatakan, berkemungkinan SK tersebut akan diminta pada Senin depan, karena waktu yang tersedia tidak terlalu lama untuk melakukan gugatan setelah SK dikeluarkan, yakni 90 hari setelah keluarnya SK tersebut.

Jika ada persoalan hukum dibalik ini, maka menurut Asri seharusnya pihak kementerian cukup dengan membeberkan dan menangkap oknum tersebut, dan jangan sampai mengorbankan harapan masyarakat Riau.

“Jangan sampai desa-desa di Riau menjadi hutan, istana Siak, candi Muara Takus, dan lainnya, jangan-jangan bisa masuk hutan juga nanti,” imbuhnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPRD Riau Noviwaldy Jusman juga mengatakan tentang keterkaitan adanya tuntutan anggota dewan adalah hal yang wajar. Karena jumlah yang diberikan dinilai kurang dan tidak sesuai dengan apa yang telah diajukan Pemprov Riau. Hal tersebut tidak menjadi penghambat untuk membawa SK tersebut ke dalam rapat paripurna.

Menurutnya, jika ada anggota dewan yang lainnya menggugat bahwasanya jumlah yang diberikan pemerintah itu kurang. Hal tersebut sah-sah saja.

"Kalau sekarang 1,6 juta hektar kawasan hutan yang sudah diputihkan itu kita sah kan dulu. Masalah kekurangan akan kita urus belakangan, kami tidak mau berkutat dimasalah itu saja kemudian pembangunan seperti jalan tol dan rel kereta api jadi terhambat," ungkapnya.

Namun dia berharap, apa yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat tersebut, benar-benar untuk kepentingan masyarakat Riau.

"Mudah-mudahan yang diberikan pemutihan oleh pemerintah ini adalah memang lahan untuk masyarakat bukan melegalkan para perambah hutan yang ada di Riau ini," tutupnya. (advetorial) Foto Anggota Komisi A DPRD Riau berfoto di depan gedung Mahkamah Agung RI di Jakarta.