JAKARTA- Banyuwangi kembali menjadi sorotan dunia. Ada 18 media Jepang yang sedang mengarahkan liputannya ke kabupaten berjuluk Sunrise of Java itu.

Belasan media Negeri Sakura hadir ke Banyuwangi setelahKementerian Pariwisata menggelar Japan Media famtrip ke sejumlah destinasi wisata menarik.Di Banyuwangi, 18 jurnalis media Jepang diajak melakukan perjalanan wisata selama tiga hari. Mereka diajak menjelajah blue fire KawahIjen, desa wisata, hingga menikmati landscape pantai hingga pegunungan Banyuwangi.

Hasil perjalanan tadi, langsung dipublikasikan di Jepang."Di antaranya ada Mainichi Weekly, Globe- Trotter Travel Guide Book Jepang dan Kumon Publishing yang kami bawa ke Banyuwangi. Mereka menjadi mata dan telinga kami untuk membantu mempromosikan pariwisataBanyuwangi di kawasan Asia, bahkan dunia," terang Visit Indonesia Tourism Officer (VITO) Kementerian Pariwisata di Jepang, Naomi Takahashi, Kamis (25/5).

Naomi mengatakan, dipilihnya Banyuwangi sebagai lokasi famtrip karena obyek wisata Banyuwangi sesuai dengan karakter wisatawan Jepang yang tidak menyukai medan sulit. Cukup berkeliling satu kota, wisatawansudah bisa menjangkau banyak destinasi wisata. "Ada banyak obyek wisata alam yang bisa dinikmati di sini. Mulai wisata pantai, desa yang memiliki kultur unik dan gunung yang terkenal dengan api birunya. Ini sangat menakjubkan. Cerita-cerita unik dan menarik yang dijumpai di Banyuwangi pasti dipromosikan di Jepang oleh para jurnalis kami," kata Naomi.

Takehito Miyatake, fotografer dari Japan Professional Photographers Society, mengakui bahwa Banyuwangi memiliki pemandangan alam yang cantik dan unik. Karakteristik penduduknya yang ramah dan suasana perdesaan yang khas membuatnya sangat suka dengan Banyuwangi. "Sepanjang mata memandang saya melihat hamparan sawah yang luas dan bertingkat-tingkat (terasering, red). Itu menjadi pemandangan yang menakjubkan," tutur Miyatake.

Tak hanya alam Banyuwangi yang membuat dia terkesan. Kebiasaan masyarakat yang memulai aktivitas di pagi buta juga menjadi pesonatersendiri.

"Waktu bangun pagi saya sangat kaget, matahari belum terbit sudah terdengar suara-suara yang membangunkan orang untuk beribadah (adzan Subuh-red). Ini unik sekali," ucap Miyatake.

Kebetulan, para jurnalis itu menginap di salah satu resort yang terletak di kaki lereng Gunung Ijen. Fotografer lainnya, Hinata Haga menyatakan sangat antusias melihat puluhan festival yang digelar Pemkab Banyuwangi. Festival yang terangkum dalam Banyuwangi Festival, bagi Hinata, sangat unik dan menarik.

"Saya penasaran sekali dengan Gandrung Sewu dan Banyuwangi EthnoCarnival. Saya ingin mengabadikan dan mengabarkan keunikan dua even itu kepada masyarakat Jepang," tuturnya.Bupati Anas mengaku sangat terhormat dengan dipilihnya Banyuwangi sebagai lokasi famtrip para jurnalis asal Negeri Sakura tersebut. Kunjungan itu bagi Anas sangat berharga karena bisa mempromosikan Banyuwangi ke mancanegara.

"Inilah Banyuwangi. Di sini Anda bisa melihat keramahtamahan penduduk di desa-desa. Banyuwangi salah satu miniatur Indonesia. Meski Indonesia mayoritas Muslim, namun di sini toleransi beragama sangat dijunjung tinggi. Bahkan kami telah masuk jaringan compassionate city yang diinisiatori Karen Armstrong. Kami dianggap sebagai kota yangpenuh kasih, dan menjadi tempat layakditinggali untuk semua agama, suku dan etnis apapun," papar Anas.

Selama beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memang fokus mengembangkan pariwisata. Beragam even dibuat sepanjang tahun untuk mendongkrak pariwisata. Destinasi-destinasi wisata baru, banyak dimunculkan seiring perubahan pola pikir masyarakat.

Yang sering disebut-sebut Menpar Arief Yahya salah satunya Blue Fire atau api biru. Api biru ini sebenarnya hanya sebutan keren ini untuk Kawah Ijen yang sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun, dengan Blue Fire, kawah tersebut kian menarik kunjungan wisatawan asing. "Saya dulu rajin mendaki gunung, dan Ijen adalah favourit saya," ujar Arief Yahya.

Pada pukul 01.00 sampai 03.00 WIB, akan terlihat blue fire itu. Seperti kompor raksasa, menyala biru, seluas 5000 hektare, dan waktunya tidak panjang. "Ini hanya terjadi di Ijen dan Iceland," kata Arief Yahya.

Selain itu ada Pantai Bangsri yang konon keindahan bawah lautnya tak kalah dari Raja Ampat. Lebih menarik lagi, desa ini dikemas dengan narasi tentang masyarakat nelayan yang dulu perusak laut, tetapi kini menjadi pelestari dan penggerak wisata bawah laut.

Upaya ini membuahkan hasil. Pengakuan dunia untuk Banyuwangi terwujud dalam penghargaan pariwisata dunia Badan Pariwisata Perserikatan Bangsa - Bangsa UNWTO Awards ke-12 kategori inovasi bidang kebijakan publik.

Hebatnya, promosi Banyuwangi tak dilakukan lewat pemasangan iklan di media massa yang tergolong mahal. Promosi hanya dilakukan memanfaatkan media sosial yang ada. Berbagai gebrakan itu membuat Banyuwangi berkembang. Kunjungan wisatawan nusantara melonjak 161 persen dari 651.500 orang pada 2010 menjadi 1.701.230 orang pada 2015.

Wisatawan mancanegara meningkat 210 persen dari kisaran 13.200 orang pada 2010 menjadi 41.000 orang pada 2015. Hotel dan restoran tumbuh. Kegiatan ekonomi kreatif seperti kerajinan, industri oleh-oleh dan batik menggeliat.

Jumlah penumpang di Bandara Blimbingsari Banyuwangi pun melonjak dengan sangat fantastis, yaitu yang mencapai 1.308 persen. Dari hanya 7.826 penumpang pada 2011, Bandara Blimbingsari menerima 110.234penumpang pada 2015. Geliat pariwisata juga menggerakkan ekonomi warga. Pendapatan per kapita Banyuwangi menurut Badan Pusat Statistik melonjak 62 persen dari Rp 20,8 juta (2010) menjadi Rp 33,6 juta per kapita pertahun (2014). (*/dnl)