PEKANBARU, GORIAU.COM - Luasnya pengembangan kebun kelapa sawit memberi dampak yang cukup luas kepada masyarakat. Berdasarkan data tahun 2011, luas areal kelapa sawit di Riau mencapai angka 2,3 juta juta hektar dan hampir 25% dari luas lahan secara nasional dan CPO yang dihasilkan mencapai 8.198.962 ton per tahun.

Dengan besarnya potensi industri tersebut, maka dipastikan kita akan membutuhkan TBS yang sangat banyak. Untuk memastikan hal itu, maka seluruh pihak yang terkait dengan industri terkait diharapkan serius dan bersatu untuk menciptakan iklim investasi yang maju.

Hal itu diungkapkan oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Drs H Zulher MS, dalam acara Focuss Group Discussion (FGD) yang ditaja oleh World Wildlife Fund (WWF) perwakilan Riau yang diadakan di Hotel Grand Jatra Pekanbaru, Kamis (21/8/2014). Pada kegiatan ini, WWF Wilayah Riau memfokuskan diskusi kepada issue ketersediaan Sistem Rantai Suplai Tandah Buah Segar Yang Terlacak (Traceability) Untuk Kelapa Sawit Yang Berkelanjutan.

Zulher menerangkan bahwa Riau sekarang ini telah menjadi pusat industri kelapa sawit terbesar nasional. Tentunya, dengan raihan yang dicapai oleh subsector perkebunan di Riau ini menjadi beban yang besar agar bagaimana caranya industri ini dapat terus berkembang.

''Tidak mudah sebenarnya bagi kita untuk mempertahankan eksistensi subsector perkebunan yang telah berhasil kita kembangkan ini. Namun dengan kesungguhan kita bersama yaitu pemerintah, pengusaha, petani, pegiat sosial maka saya yakin industri ini sangat prospek ke depannya,'' ujar optimis Zulher.

Ditanya tentang permasalahan utama subsector perkebunan khususnya kelapa sawit di Riau, dia menjawab bahwa legalitas kepemilikan lahan pelaku usaha perkebunan dan juga produktifitas akibat bibit dan pengelolaan yang tidak baik. Dia menerangkan bahwa pada umumnya ada dua penyebab permasalahan legalitas ini, yaitu ada sebagian kelompok yang masih merambah kawasan hutan dan juga bagi petani kecil, mereka tidak menganggap lahan yang telah mereka kelola puluhan tahun yang lalu itu perlu dilegalkan.

''Dengan adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Perubahan Provinsi Riau yang disahkan beberapa waktu lalu, itu memberi angin segar terhadap permasalahan kepemilikan lahan ini,'' ujar Zulher.

Sedangkan untuk produktifitas, itu murni kurang pahamnya masyarakat terhadap penggunaan bibit dan pengelolaan yang baik. Namun seiring waktu, disbun Riau terus menyosialisasikan kepada masyarakat agar produktifitas harus terus diperbaiki.

Zulher juga menerangkan bahwa Disbun Riau, ke depannya tidak lagi berbicara tentang pola perluasan lahan perkebunan, namun telah menjurus kepada pola pengembangan (intensifikasi) lahan yang terus meningkat.

''Lahan di Riau kita akui tidak ada lagi. Untuk itu, kita terus mendorong intensifikasi lahan dan juga hiliirisasi produk yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan,'' tambah Zulher lagi.

Pembicara yang lainnya, Asril Darussamin, dari RSPO Indonesia Liaison Office, menyatakan bahwa sertifikasi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi seperti RSPO dan ISPO turut mendorong peningkatan nilai jual kelapa sawit.

''Dengan adanya sertifikasi RSPO dan ISPO ini, pelaku usaha perkebunan akan menjadikan industri ini sebagai industri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan,'' ujar Asril.

Sementara itu, Technical Support Koordinator WWF wilayah Riau, Nur Anam, menuturkan bahwa kegiatan ini penting dilaksanakan untuk membangun system perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

''Kita ingin mendorong kepada seluruh pelaku usaha perkebunan dan juga pemerintah untuk terus menciptakan industri perkebunan yangberkelanjutan dan ramah lingkungan,'' ujar Nur Anam. (rls)