JAKARTA, GORIAU.COM - Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, serta Undang-Undang tentang BUMN, Pertamina bukan lagi Badan Layanan Publik (BLU). Pertamina adalah perusahaan yang berorientasi mencari keuntungan. Padahal perusahaan ini masih mendapatkan subsidi dari negara. Meski di era Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi, subsidi itu telah berkurang 300 persen.

''Sementara untuk mendapatkan keuntungan pada kondisi sistem politik Indonesia yang carut marut ditambah dengan maslaah otonomi daerah, adalah hal yang sangat sulit bagi pertamina,'' kata Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (Aepi), Salamuddin Daeng, di Jakarta, Kamis 2 April 2015.

Mengapa Pertamina terus berkubang dalam kisah tragis? Kata Salamuddin, ada beberapa faktor yang jadi pangkal sebabnya. Pertama, PT Pertamina menurut Salamuddin, dikendalikan oleh sindikat dan mafia yang berdiri dibalik kekuasaan pemerintahan. Mereka mengendalikan impor, ekspor, belanja modal dan investasi yang kesemuanya dijadikan sebagai ajang ''begal'' mendapatkan jatah dalam belanja perusahaan minyak plat merah tersebut.

''Kedua, keuntungan dan pendapatan PT Pertamina harus disetorkan kepada pemerintah sebagai penerimaan negara. Sehingga perusahaan tidak dapat mengembangkan usahanya secara efektif," katanya.

Ketiga, kata Salamuddin, para politisi yang berkuasa ditenggarai menjadikan Pertamina sebagai lahan bancakan. Mereka mengeruk setoran, sebagai imbalan atas jabatan jabatan dalam perusahan yang ditentukan oleh pemerintah. Keempat, perusahaan Pertamina diperas oleh berbagai macam pajak, bunga, dan lain-lain. Biaya yang ditanggung perusahaan pun sangat tinggi. Lihat saja, biaya lifting, refinary dan transportasi (LRT) perusahan mencapai 24 USD per barel. Beban pajak 15 persen. Dan beban bunga 10 persen.

''Kesemuanya menjadikan Pertamina sebagai perusahaan dengan biaya paling mahal sedunia,'' kata Salamuddin.

Perhitungan kasarnya kata Salamuddin, dengan total pengolahan minyak 1,25 juta barel perhari Pertamina harus mengeluarkan biaya sedikitnya Rp 476 triliun setahun. Biaya jumbo itu untuk belanja minyak mentah, pajak, bunga. Sementara revenue yang diperoleh Pertamina pada tingkat harga yang berlaku sekarang, ditambah dengan subsidi APBN senilai Rp 81 triliun hanya sebesar Rp 409 triliun. ''Kisah tragis yang menyedihkan memang,'' ujarnya. (pri)