PEKANBARU, GORIAU.COM - Warga Desa Tambusai Timur, Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) menuntut PT Hutahaean memberikan hak masyarakat atas lahan mereka yang dijadikan kebun sawit. Berdasarkan perjanjian pola kemitraan yang ditandatangani di hadapan notaris pada Tahun 1998, bagi hasil kebun sawit antara masyarakat dan perusahaan adalah 65:35. Namun hingga 15 tahun pasca perjanjian itu dibuat, masyaraka belum pernah mendapatkan pembagian tersebut.

Menurut salah seorang wakil masyarakat, Janna Lubis yang juga pengurus KUD Setia Baru, yaitu koperasi yang dibentuk untuk menjalankan pola kemitraan tersebut, berbagai upaya sudah dilakukan oleh masyarakat untuk meminta haknya. Namun hingga kini upaya tersebut belum membuahkan hasil.

"Kami ingin bertemu dengan Bapak Hutahean untuk menanyakan realisasi perjanjian yang telah dibuat antara masyarakat Tambusai Timur yang dalam hal ini diwakili oleh KUD Setia Baru dengan perusahaannya pada Tahun 1998 lalu. Namun upaya yang kami lakukan untuk bertemu selalu gagal. Kami juga sudah menghubungi Pemerintah Daerah Rohul, namun masih belum ada titik terang bagi penyelesaian persoalan ini," kata Janna, Rabu (17/12/2014).

Luas lahan warga Tambusai Timur yang dijadikan kebun kelapa sawit oleh PT Hutaean sebesar 2380 Ha. Saat itu masyarakat menyampaikan keberatannya atas perluasan lahan perkebunan oleh PT Hutahaean yang masuk ke wilayah desanya kepada Pemerintah Daerah Kampar pada waktu itu. Dan Bupati Kampar lalu mempertemukan masyarakat dengan Hutahaean. Pada saat itulah terjadi kesepakatan pembentukan pola kemitraan antara masyarakat dengan perusahaan. Persyaratannya adalah dengan membentuk koperasi. Melalui KUD Setia Baru inilah perjanjian dibuat. Anggota koperasi ini tercatat berjumlah 1001 KK.

"SKT dari anggota koperasi ini diagunkan untuk mengambil pinjaman di Bank Danamon. Sejak perjanjian itu dibuat, tidak pernah ada komunikasi antara masyarakat dengan perusahaan," tambah Janna.

Menurut Direktur Scale Up Harry Oktavian, perjanjian kemitraan ini dibuat oleh perusahaan untuk meluluskan niatnya untuk mendapatkan sumber daya. Karena tidak ada upaya dari perusahaan untuk melakukan pendampingan kepada masyarakat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berkebun dan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat yang menjadi mitranya.

"Perusahaan melakukan pembiaran hingga masyarakat melupakan kesepakatan yang dibuat. Dan pemerintah daerah sebagai pemegang regulasi semua proses perizinan, seharusnya memastikan pola kemitraan berjalan dengan baik dan benar. Bila tidak memberikan peningkatan kesejahteraan, bisa ditinjau ulang," kata Harry.

Menurutnya, bisnis selalu menipu daya masyarakat. Sementara peran pemerintah tidak tampak dalam pola kemitraan ini. Perusahaan memanfaatkan harapan masyarakat untuk mencapai tujuannya.

Scale Up sebagai lembaga resolusi konflik sumber daya alam di Riau, tambah Harry, akan mempelajari kasus yang dialami oleh masyarakat Tambusai Timur. Setelah itu akan disusun strategi upaya membantu penyelesaian konflik antara masyarakat dengan perusahaan.

"Keinginan kami hanya mau mendapatkan hak kami sesuai dengan hasil perjanjian yang sudah dibuat pada Tahun 1998 lalu di hadapan notaris," tandas Janna yang diamini oleh perwakilan masyarakat 3 desa hasil pemekaran Desa Tambusai Timur.(wdu)