PEKANBARU, GORIAU.COM - Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, ada beberapa potensi kerugian penerimaan (land rent) bidang mineral dan batu bara (Minerba) di Riau yang dilihat dari metode perhitungan selisih antara potensi penerimaan dengan realisasi penerimaan. Potensi kerugian di Riau sebesar Rp8,6 Miliar selama priode 2010-2013. Daerah yang terbesar mengalami potensi kerugian yaitu Kabupaten Indragiri Hulu sebesar Rp2,4 Miliar, disusul Kabupaten Kampar sebesar Rp2,0 Miliar, dan Kabupaten/Kota lainnya sebesar Rp1,2 Miliar, serta Provinsi Riau sebesar Rp2,9 Miliar.

Menurut Kordinator FITRA Riau, Usman melalui rilis yang dikirim atas nama Koalisi Anti-Mafia Sumber Daya Alam Wilayah Riau (08/12/2014), besarnya potensi kerugian ini disebabkan beberapa faktor, seperti pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) tidak atau belum membayar kewajiban potensi kerugian penerimaan (land rent), data luasan IUP tidak di update/diperbaharui secara berkala dan bukti setor bayar potensi kerugian peneriman (land rent) tidak disampaikan perusahaan kepada Pemda atau dari Pemda kepada Pusat.

Selama priode 2010-2013 luas lahan pertambangan mineral dan batu bara di Riau seluas 419.000 HA, yang hanya memiliki 98 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar di beberapa daerah, seperti Kabupaten Inhu, Kampar, Kuansing.

Dijelaskan Usman, saat ini Provinsi Riau tidak ikut bersama KPK dalam Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Minerba. Artinya pemerintah Provinsi Riau tidak mau terbuka mengenai data dan pengelolaan pertambangan Minerba terhadap publik dan tidak mau bekerja sama dengan KPK dalam perbaikan pengelolaan sumberdaya alam mineral dan batu bara. Keikutsertaan bersama KPK dalam koordinasi dan supervisi penting untuk dilakukan karena adanya kerjasama dalam perbaikan pengelolaan sektor pertambangan guna meningkatkan potensi penerimaan keuangan daerah sektor pertambangan.

"Pemda harus menyiapkan data dan informasi terkait dengan IUP yang diterbitkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota dan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara di tingkat provinsi/kabupraten/kota serta melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara untuk IUP yang diterbitkan Gubernur/Bupati/Walikota," kata Usman.

Berdasarkan data Kementrian Lingkungan Hidup yang disampaikan pada 3-4 Desember di Bali, PT Riau Bara Harum yang beroperasi di Kabupaten Indragiri Hulu mendapat peringkat merah dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peringkat ini diberikan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang upaya pengelolaan lingkungan hidup dilakukannya tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

Potensi kerugian penerimaan sektor pertambangan Minerba, lanjut Usman, akan bertambah dan berlanjut untuk tahun berikutnya jika pemerintah pusat dan daerah tidak melakukan perbaikan sistem dan pengawasan yang efektif terhadap produksi pertambangan tersebut. Maka dari itu, kami meminta pemerintah Provinsi Riau serius untuk melakukan;1.Penerbitan dan melakukan upaya hukum terhadap kepatuhan pembayaran potensi kerugian penerimaan (land rent).2.Pembaharuan/update dan transparansi data spasial dan luasan area usaha pertambangan.Perbaikan mekanisme dan transparansi pembayaran potensi kerugian penerimaan (land rent).3.Pemda Provinsi Riau harus melaporkan secara reguler laporan pengawasan produksi pertambangan di wilayahnya.4.Pemda Provinsi Riau harus menindaklanjuti pemberian sanksi atas pelaku usaha pertambangan Minerba yang tidak melaksanakan good mining pratice dan melanggar peraturan yang berlaku.(rls)