JAKARTA, GORIAU.COM - Pemerintah diminta tak perlu panik menghadapi berbagai dinamika terkait dengan gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Pemerintah pun jangan bereaksi berlebihan, menyikapi meluasnya dukungan terhadap kelompok radikal seperti ISIS.

''Prinsipnya pemerintah Indonesia tidak perlu terlalu panik menghadapinya,'' kata Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, di Jakarta, Senin 23 Maret 2015.

Karena itu, Ismail meminta penanganan kasus 16 WNI ke Turki yang diduga hendak bergabung dengan ISIS dilakukan dengan fair dan transparan. Termasuk penangkapan sejumlah orang yang juga dduga terlibat ISIS harus diproses dengan adil dan terbuka.

''Semuanya harus diproses melalui mekanisme yudisial yang tersedia dalam sistem hukum Indonesia," katanya.

Ismail melanjutkan, jika proses hukum tersebut dilakukan tidak fair dan tertutup, maka kecil kemungkinan akan diperoleh narasi kebenaran dari mulut para terduga ISIS tersebut. Selain itu proses hukum yang tertutup hanya akan memunculkan keraguan publik terhadap validitas narasi ISIS di Indonesia.

''Narasi terorisme termasuk ISIS yang tersaji di hadapan publik adalah narasi tunggal yang dicetak oleh aparat keamanan, khususnya Polri (BNPT),'' ujar Ismail.

Tapi, kata dia, narasi dari pelaku jarang sekali disajikan. Wajar jika kemudian publik meragukan dan permisif terhadap berbagai aksi, kegiatan penangkapan, dan penyebaran pandangan keagamaan radikal. Ismail pun kemudian mengingatkan bahwa terorisme, termasuk ISIS adalah puncak dari intoleransi. Intoleransi adalah tangga pertama menuju terorisme. Karena itu, memberantas terorisme yang utama adalah memberantas hulunya, yakni intoleransi.

"Selama hulu terorisme itu dibiarkan, maka potensi terorisme akan selalu melekat,'' kata dia.

Maka pewacanaan penerbitan Perppu untuk memberantas ISIS, terlalu berlebihan. Karena sebenarnya sudah ada instrumen perundang-undangan yang bisa digunakan seperti KUHP, UU Pemberantasan Terorisme dan UU ITE. Semua beleid tersebut, bisa digunakan untuk menjerat mereka yang menyebarkan kebencian, menganjurkan kekerasan, makar, dan lain-lain.

''Usulan Perppu menyimpan motivasi lain, salah satunya diduga untuk melegitimasi keterlibatan optimum TNI dalam penegakan hukum memberantas terorisme,'' kata dia.

Menurut Ismail, ketimbang meminta Perppu, sebaiknya Polri dan BNPT fokus menggunakan produk hukum yang sudah tersedia. Tapi dengan catatan, tetap mengedepankan due process of law dengan mekanisme peradilan yang fair dan terbuka. (gus)