Siapayang menyangka ketika memasuki kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai taman nasional, di dalamnya banyak terdapat pekebunan sawit, karet dan perkampungan penduduk. Meskipun ini adalah kawasan yang dilindungi, areal kelola baru yang masih mengeluarkan bau bakaran masih acap kali ditemukan. Areal tersebut akan disulap menjadi kebun dan pemukiman para pendatang. Demikianlah kondisi si cantik Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) saat ini, kawasan konservasi yang memiliki banyak keunikan.

Memang sejak awal Tesso Nilo yang berada di dua kabupaten, Pelalawan dan Inderagiri Hulu ini, sebagian wilayahnya adalah eks HPH dan terdapat beberapa perkampungan penduduk tempatan. Namun meskipun TNTN sudah diresmikan menjadi taman nasional pada 19 Juli 2004, tidak menghentikan laju pembukaan lahan baru untuk perkebunan dan tempat tinggal di wilayah ini. Pendatang dari provinsi tetangga dan para pemilik modal berdatangan mengusik kecantikan TNTN.

Dari laporan Wild Cutters WWF 2013, ada sebanyak 524 orang yang terindikasi mendominasi 72 persen atau sekitar 26.298 Ha dari total 36.353 Ha areal perambahan yang telah dikonversi menjadi kebun sawit. Sementara sisa luasnya dikelola oleh 20 kelompok.

"Rata-rata luas kebun yang dimiliki oleh individu adalah 50 Ha. Data mengindikasikan adanya modal besar yang dimiliki perambah yang umumnya berasal dari luar Riau," jelas Afdal Mahyudin, staf Komunikasi WWF Riau, beberapa waktu lalu.

Para perambah membangun rumah hunian dari kayu di areal kebun atau tidak jauh dari kebun mereka di dalam TNTN. Karena jumlah kepala keluarga terus bertambah, akhirnya membentuk koloni perkampungan. Bahkan mereka mendirikan rumah peribadatan dan warung-warung disana. Empat lokus terluas adalah koridor PT RAPP Ukui–Gondai (8.242,34 Ha), Kuala Onangan Toro Jaya (7.769,27 Ha), Bagan Limau (3.852,21 Ha) dan Toro Makmur (2.440 Ha).

Aktivitas masyarakat perambah, sama layaknya para petani sawit lainnya, membersihkan kebun atau memetik hasil kebun mereka. Dan karena kebun serta tempat tinggal mereka berada di kawasan jelajah gajah, tak jarang wilayah mereka disantroni kawanan gajah. Akibatnya, konflik antara gajah dan manusia tak terhindarkan. Tidak heran bila sering ditemukan gajah mati akibat diracun di wilayah TNTN tersebut.

Saat ini, sudah banyak lahan sawit perambah yang memasuki masa panen. Dan dalam penelitiannya, WWF menemukan ada dua grup perusahaan yang diindikasikan terlibat perdagangan tandan buah segar (TBS) yang ditanam illegal di kompleks TNTN, yaitu Asian Agri dan Wilmar. Dari lapangan juga ditemukan bahwa Asian Agri dan Wilmar terlibat dalam pengembangan kebun sawit illegal di dalam kompleks hutan Tesso Nilo. ‘’Berdasarkan hasil investigasi sampai dengan Bulan April 2012, ditemukan 50 mill (pabrik kelapa sawit) beroperasi di sekitar kompleks hutan Tesso Nilo dengan perkiraan kebutuhan TBS sebesar 14,5 juta ton per tahun,’’ ungkap Afdal.

Sebanyak 11 mill yang tidak memiliki kebun sendiri memerlukan pasokan TBS dari kebun swadaya sebesar 3 juta ton per tahunnya. Sedangkan 4 mill dimiliki oleh Wilmar, Musim Mas, Golden Agri Resources dan BUMN perkebunan sementara 7 mill lainnya belum teridentifikasi kepemilikannya.

Analisa Citra Satelit Landsat 2002-April 2011 menunjukan, luas kawasan yang dirambah di dalam kompleks hutan Tesso Nilo bertambah. Kawasan hutan TNTN yang luasnya 167.618 Ha, setiap tahun terus terjadi peningkatan areal yang dirambah. Peningkatan tertinggi terjadi sejak tahun 2006. Pada Tahun 2008 mencapai 14.704 Ha dan paling luas pada Tahun 2009 mencapai 16.305 Ha.

Dalam lingkup kompleks hutan Tesso Nilo, perambahan paling besar terjadi pada lokasi IUPHHK PT. Siak Raya Timber yaitu mencapai 84 persen atau sekitar 32.310 Ha. Sedangkan di dalam konsesi IUPHHK PT. Hutani Sola Lestari mencapai 40 persen atau sebesar 18.497 Ha.

Berdasarkan hasil survey WWF, dari 52.266,5 Ha luas areal yang telah dirambah, 70 persen (36.353 Ha) diantaranya telah dikonversi menjadi kebun sawit illegal dan sisanya adalah lahan terlantar atau ditanami tanaman biasa. Dan dari areal yang telah dikonversi, 15.819 Ha merupakan kebun yang sudah menghasilkan tandan buah segar. ‘’Dengan asumsi produktivitas 1,3-2 ton/ha/bulan, produksi TBS saat ini di kawasan hutan Tesso Nilo cukup untuk mensuplai satu CPO mill untuk memproduksi 67,000 ton per tahunnya. Sementara luas kebun yang belum menghasilkan sebesar 20.784 Ha,’’ kata Afdal.

Perambahan yang berdasarkan laporan Wild Cutters adalah kegiatan menduduki, menguasai dan mengusahakan kawasan hutan di kompleks hutan Tesso Nilo sesuai dengan TGHK tahun 1986 dan RTRWP Riau tahun 1994 ini, dilakukan masyarakat dengan berbagai modus. Perambah non lokal biasanya melalui jual beli lahan yang dilakukan oknum tokoh masyarakat kepada masyarakat luar. Dengan surat kuasa oknum tokoh masyarakat menunjuk kaki tangannya di lapangan untuk memasarkan lahan kepada masyarakat luar. Sebagian besar areal yang diperjualbelikan dalam luasan yang besar hingga 100.000 Ha/satu kepemilikan.

Menurut Kepala SPTN Wilayan I Lubuk Kembang Bunga Balai TNTN, Edward Rahadian, penyebab terjadinya perambahan karena kurangnya perlindungan hutan oleh pemegang izin pemanfaatan kawasan sebelum ditunjuk menjadi TNTN. Selain itu juga karena adanya koridor RAPP di areal kawasan TNTN, kebijakan-kebijakan pemerintah daerah atau instansi terkait yang seakan membuka peluang terhadap kegiatan perambahan serta adanya oknum pemerintah desa yang memperjualbelikan lahan dan memberi kemudahan dalam menguasai dan memanfaatkan lahan di TNTN.

"Luas areal perambahan pada tahun 2002 sebesar 3.587 Ha. Pada Tahun 2013 sudah menjadi 53.530,39 Ha. Selain ancaman perambah, ancaman lain terhadap TNTN adalah kebakaran hutan, illegal mining, illegal logging dan perburuan satwa," ungkap Edward.

Kawasan hutan 167,618 Ha ini, merupakan kawasan yang memiliki keragaman jenis tumbuhan vaskuler tertinggi di dunia dan merupakan kawasan penyangga kunci dari populasi gajah (elephas maximus). Lanskap hutan Tesso Nilo merupakan salah satu benteng pertahanan terakhir bagi gajah dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang jumlahnya mulai sedikit. Disamping itu juga ada berbagai jenis primata, 114 jenis burung, 50 jenis ikan dan 33 jenis herpetofauna. Tercatat ada lebih dari 4000 jenis tumbuhan dan lebih dari 200 jenis tumbuhann setiap meter persegi. Tingkat keragaman tumbuhan vaskular Tesso Nilo merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Dan kondisi geografisnya yang berada di dataran rendah, menjadi primadona bagi para pendatang untuk membuka lahan garapan.

Kelompok masyarakat yang berada di sekitar TNTN yang terhimpun dalam Forum Masyarakat Tesso Nilo (FMTN), menyatakan rasa optimisnya terhadap kelestarian TNTN. Namun itu bisa terjadi lestari bila peneggakkan hukum berjalan baik dan seluruh stake holder memiliki perhatian serta kepedulian yang sama terhadap kelangsungan masa depan TNTN.

“Kami selalu memberikan sosialisasi kepada masyarakat sekitar TNTN, termasuk juga kepada para perambah. Kami juga melakukan pemantauan terhadap aksi perambah. Hal ini tidak mudah, gesekan dan konflik dengan perambah acap kali terjadi,” kata Ketua FMTN, Radaimon.

Pemerintah seharusnya mencari solusi bagaimana merelokasi para perambah ini. “Jangan hanya mengusir mereka keluar dari TNTN, tanpa diberikan alternatif bagi kelangsungan ekonomi mereka,” tambah Tengku Effendi, sekretaris FMTN. (winahyu dwi utami)