PEKANBARU, GORIAU.COM - Kehadiran sawit mendistorsi budaya karet yang telah memiliki nilai, institusional dan jaminan ekonomi rumah tangga. Membangun budaya baru dari budaya karet ke budaya sawit merubah tatanan sosial masyarakat perkebunan di daerah.

Demikian dikatakan Pengamat Antropologi Sosial DR. Rawa El Amady pada seminar tentang dinamika perkebunan sawit di Riau yang ditaja Scale Up, kemarin. Diungkapkan Rawa, ketika masyarakat beralih kepada budaya sawit, ruang perkebunan di desa tidak hanya diisi oleh warga desa tetapi juga warga kota dari dalam dan luar provinsi.

"Penguasaan lahan di desa semakin menyempit, bukan saja disebabkan oleh masuknya perusahaan sawit multinasional tetapi juga warga kota berduit yang dipastikan memiliki lahan lebih luas dari warga desa," kata Rawa.

Akibatnya, lanjut Rawa, berpotensi pada meningkatnya kemiskinan, kejahatan dan konflik sosial. Beberapa karakter sawit misalnya, buah yang tidak tahan lama, pemeliharaan rutin dan jaringan pasar yang rumit diperkirakan mengganggu tatanan sosial yang mapan.

"Distorsi bermuara kepada gangguan tatanan sosial ini, menimbulkan dampak sosial yang cukup signifikan. Misalnya, meningkatnya kejahatan akibat hilangnya jaminan konsumsi rumah tangga yang selama ini mendapat jaminan dari tauke pada budaya karet," tambah Rawa.

Pola tanam perkebunan sawit yang berbeda dengan karet menimbukkan beban ekonomi baru, karena tidak disediakan oleh kebun sawit sebagaimana kebun karet. Pada perkebunan karet, sangat memungkinkan warga bertanam aneka tanaman, sayur mayur pada tahun pertama hingga ketiga. Sementara perkebunan sawit yang monokultur menambah beban biaya rumah tangga untuk konsumsi harian. Buah sawit hanya bisa dipanen 2 kali sebulan, sedangkan produksi karet bisa dilakukan setiap hari.

"Hal ini memungkinkan rumah tangga menekan konsumsi yang tentu berdampak terhadap produksi, gisi dan kesehatan masyarakat. Belum lagi dampak lingkungan yang terjadi, seperti terganggunya keseimbangan lingkungan, punahnya keanekaragaman hayati hingga mempengaruhi pemanasan global," tandas doktor asal UI ini. (wdu)